: Pemaknaan Hakim Tentang Aborsi Yang Dilakukan Anak Korban Perkosaan (Studi Putusan Nomor 5/Pid.Sus- Anak/2018/PN.Mbn)
Main Authors: | Arumsasi, Sekar Ayu, Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum, Mufatikhatul Farikhah, S.H., M.H |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2021
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190596/1/Sekar%20Ayu%20Arumsasi.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190596/ |
Daftar Isi:
- Pada putusan Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018.PN.Mbn, hakim telah menjatuhkan vonis 6 bulan penjara dan 3 bulan pelatihan kerja kepada anak berusia 15 tahun yang menjadi korban perkosaan oleh kakak kandungnya. Dalam pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terdapat pengecualian untuk melakukan tindakan aborsi yang disebabkan oleh indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Hakim menilai bahwa anak terbukti melakukan aborsi diluar prosedur dan melebihi batas waktu yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Waktu yang ditentukan berdasarkan UU Kesehatan adalah 6 minggu dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Waktu tersebut dirasa terlalu singkat bagi korban perkosaan menyadari bahwa dirinya hamil. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian terhadap rumusan masalah yaitu Apakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku aborsi dalam Putusan Nomor 5/Pid.Sus- Anak/2018/PN.Mbn memperhatikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak?, dan Bagaimanakah hakim memberikan makna terhadap aborsi oleh anak korban perkosaan dalam Putusan Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN.Mbn?. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Dalam putusan yang diteliti, hasil yang ditemukan penulis adalah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak yang dibuktikan dengan tindakan hakim yang menilai bahwa aborsi yang dilakukan oleh anak merupakan tindak pidana yang tidak memiliki alasan pembenar dan pemaaf. Hakim memaknai perbuatan aborsi merupakan tindakan yang disengaja untuk menggugurkan kandungan dengan cara apapun hingga mengakibatkan bayi yang dikandung kehilangan nyawa. Sehingga dalam putusan ini, hakim menilai bahwa tindakan anak yang mengoleskan minyak angin lalu mengurut perut dan meminum sari pati kunyit yang dicampur garam merupakan tindakan kesengajaan untuk melakukan aborsi. Sedangkan menurut penulis, aborsi tidak hanya disebabkan karena unsur kesengajaan, tetapi ada juga jenis pengguguran natural yang dapat menyebabkan keluarnya janin dengan sendirinya. Berdasarkan pernyataan anak korban serta saksi Asmara Dewi juga menjelaskan bahwa pemberian minyak angin serta minuman sari pati kunyit tersebut hanya untuk meredakan sakit pada perut anak. Dengan vonis yang diberikan hakim, penulis menilai bahwa putusan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak selaku korban perkosaan dan hanya di fokuskan pada tindakan aborsi yang dilakukan anak. Jika digali lebih dalam, peristiwa yang dialami anak korban perkosaan tentu menyisakan trauma, dan semakin memberikan luka mendalam jika anak harus dipenjara setelah ditetapkan sebagai terdakwa atas tindakan aborsi yang dialaminya. Penulis menilai perlu adanya pembaruan hukum yang mampu melindungi hak-hak anak sebagai korban perkosaan dan diharapkan hakim kedepannya dapat memberikan putusan yang bermanfaat dengan memperhatikan dampak yang dialami anak setelah hakim menjatuhkan vonis.