Analisis Ginem Werkudara Dalam Lakon Dewa Ruci Oleh Ki Nartosabdo (Tinjauan Etnopuitika)
Main Author: | Widagdo, Titis Bayu |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/1905/1/TITIS%20BAYU%20WIDAGDO.pdf http://repository.ub.ac.id/1905/ |
Daftar Isi:
- Wayang merupakan hasil budaya yang masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Eksistensi tersebut tidak terlepas dari penggunaan ragam bahasa yang indah pada setiap pementasannya. Ragam bahasa indah pada disetiap pementasan tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ginem, kandha, dan suluk. Ginem atau dialog merupakan aktivitas interaksi interpersonal. Dialog memiliki ciri khas yang membedakan dengan kedua bagian yang telah dijelaskan, yaitu kandha dan suluk. Perbedaan tersebut terletak pada segi kreativitas dalang dalam membuat dialog sangat menonjol. Hal tersebut dikarenakan ginem tidak diikat secara erat oleh pakem. Sehingga ragam bahasa yang digunakan akan berbeda setiap pementasannya. Dari penjelasan tersebut, penelitian ini memfokuskan kajian pada penggunaan ragam bahasa dalam dialog Werkudara dalam lakon Dewa Ruci 1984 oleh Ki Nartosabdo. Analisis ini menggunakan metode deskriptif kualitatif serta pangambilan data dilakukan dengan simak catat. Dengan metode deskriptif yang dikombinaskan dengan metode padan dan agih dapat menghubungkan kajian bahasa dengan bahasa itu sendiri dan aspek luar bahasa, sehingga hasil penelitian ini dapat secara lengkap dipaparkan. Tokoh Werkudara dipilih menjadi kajian utama karena peran sentralnya. Kemudian Werkudara memiliki keunikan ragam bahasa yang digunakan dalam unda-usuk atau tingkat tutur. Terdapat dua pola pakem yang dapat ditemukan dalam dialog WR (1) pola ragam ngoko yang digunakan Werkudara ketika berdialog dengan sesama manusia, dan (2) pola ragam krama yang digunakan Werkudara ketika berdialog dengan Dewa. Selain, keunikan tersebut, hal lain yang dikaji dalam penelitian ini adalah keindahan bahasa dan keluhuran nilai kearifan lokalnya. Keindahan bahasa akan dikaji dalam aspek mikrolinguistik, yaitu pemilihan bahasa dari segi afiksasi Jawa Kuno dan dwipurwa yang memiliki misi sebagai aspektualitas makna, serta aspek makrolinguistik pada kajian purwakanthi dan pengungkapan (rasa, tempat, dan nasihat) memiliki misi keindahan dan pengkaburan makna. Terakhir, adalah pembahasan tentang nilai kearifan lokal, yaitu teladan yang dapat kita ambil dari tokoh WR dari lugu dan apadaannya sampai keberaniannya. Kemudian ajaran Dewa Ruci yang menyadarkan kita terhadap mistisme Jawa, ilmu kesempurnaan, dan asal-usul manusia.