Turbulensi Hukum Dalam Pengaturan Pengukuhan Kawasan Hutan Di Indonesia

Main Author: Faishal, Achmad
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/189569/1/Achmad%20Faishal.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/189569/
Daftar Isi:
  • Turbulensi hukum dalam pengaturan pengukuhan kawasan hutan adalah suatu keadaan antara keadaan kacau (disorder) dengan keadaan teratur (order) yang ditandai dengan adanya fluktuasi antara kehampaan hukum (void) dan ketegasan hukum (plenitude), antara determinasi hukum dan indeterminasi hukum, hukum menjadi sangat represif terhadap warga yang lemah dan sebagian orang kebal terhadap hukum. Turbulensi hukum dalam pengaturan pengukuhan kawasan hutan merupakan penyebab terjadinya ketidakpastian hukum kawasan hutan dengan implikasi yang ditimbulkannya berupa pelanggaran terhadap hak dasar yang telah diatur dalam konstitusi serta deforestasi semakin meningkat dan mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Terbentuknya ruang turbulensi hukum bermula dari inkonsistensi pasal di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK), yakni pasal 15 angka (1) yang mengatur materi pokok pengukuhan kawasan hutan secara kumulatif terdiri dari 4 (empat) tahapan meliputi a) penunjukan kawasan hutan, b) penataan batas kawasan hutan, c) pemetaan kawasan hutan, dan d) penetapan kawasan hutan. Namun pasal pendefinisian kawasan hutan yakni Pasal 1 angka (3) melakukan penyempitan hukum (rechtsverfijning) dengan menggunakan frasa “ditunjuk dan/atau ditetapkan”. Terjadinya turbulensi hukum disebabkan oleh pengaktifan norma yang menyimpang. Pasal 4 ayat (2) UUK mendelegasikan wewenang mengatur kepada Pemerintah dan Pemerintah melakukan subdelegasi kepada Menteri sedang hal itu tidak diisyaratkan oleh Undang-Undang induk atau tidak sesuai dengan asas “delegatus non potest delegare”. Dalam eskalasinya, Menteri hanya mengeluarkan keputusan penunjukan kawasan hutan (besluit) sudah menyatakan mengikat secara umum atas dalil penunjukan sama dengan penetapan (vide Pasal 1 angka (3) UUK). Mengatasi keadaan demikian sangat bergantung pada idealnya sistem pengujian peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan konflik norma pada tingkatan yang berbeda dan sistem hierarki peraturan perundang-undangan menentukan kekuatan mengikat suatu norma. Kelemahan sistem dapat menimbulkan keadaan chaos dalam hukum dengan nuansa pengalihan aktivisme hukum dari besluit menjadi beleid.