Rekonstruksi Pengaturan Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana Narkotika

Main Author: Saputri, Adhalia Septia
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/189354/1/Adhalia%20Septia%20Saputri.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/189354/
Daftar Isi:
  • Tindak pidana Narkotika merupakan tindak pidana yang bersifat transnasional, yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan dengan menggunakan teknologi yang canggih, serta didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan membahayakan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itulah pelapor diperlukan dalam mengungkap dan memberantas tindak pidana Narkotika. Pelapor tindak pidana Narkotika ini harus mendapatkan perlindungan hukum. Disahkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berperan penting dalam penanganan hak asasi manusia, khususnya upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak pelapor tindak pidana termasuk pelapor tindak pidana Narkotika. Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 mengatur mengenai perlindungan hukum pelapor tindak pidana Narkotika. Undang-Undang ini mengamanatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berwenang memberikan perlindungan hukum pelapor tindak pidana Narkotika sesuai Pasal 1 ayat (5). Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 44 menyatakan bahwa selain LPSK, tetap memberikan kewenangan lembaga lain untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana Narkotika yaitu Polri sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 100. Hal ini dikarenakan LPSK belum mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Dengan demikian, ada 2 (dua) lembaga yang berwenang untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana Narkotika, yaitu LPSK dan Polri. Implikasi yuridis atas adanya 2 (dua) lembaga yang berwenang memberikan perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana Narkotika adalah menimbulkan kekaburan hukum dikarenakan tidak adanya kejelasan mengenai batas waktu pembentukan perwakilan LPSK di daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan perlindungan hukum pelapor tindak pidana Narkotika yang belum mencerminkan kepastian hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan menganalisis rekonstruksi pengaturan perlindungan hukum pelapor tindak pidana yang mewujudkan kepastian hukum.