Rekonsepsi Kepatutan Dan Kewajaran Pada Pengaturan Pendanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Guna Mewujudkan Welfare Society
Main Author: | Yunari, Sri Bakti |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/188921/1/Sri%20Bakti%20Yunari.pdf http://repository.ub.ac.id/188921/ |
Daftar Isi:
- Pengaturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan pada 3 (tiga) Undang- Undang, yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UUBUMN), UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyiratkan keberadaan tanggung jawab sosial perusahaan telah di mandatory di Indonesia. Penelitian disertasi ini bertujuan mencari ratio legis dan makna kepatutan dan kewajaran pada pengaturan pendanaan tanggung jawab sosial perusahaan, berikut implikasinya dan memperbaharui konsep kepatutan dan kewajaran pada pengaturan pendanaan TJSP tersebut, dengan mengunakan pendekatan statuta, konsep, sejarah dan perbandingan. Berdasarkan hasil analisis, dengan pendekatan sejarah ratio legis diberlakukannya tanggung jawab sosial bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dikenal dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) didasarkan pada pemikiran bahwa BUMN sebagai badan usaha milik negara tidak semata-mata didirikan untuk mencari keuntungan, akan tetapi keberadaan BUMN juga dimaksudkan untuk turut serta aktif memberikan kemanfaatan umum, dengan memberikan bimbingan kegiatan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah. Selanjutnya ratio legis pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) pada UUPM pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan dan menjadikan masyarakat sejahtera (welfare society). Demikian pula, ratio legis pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), didasarkan pada beberapa pemikiran, diantaranya sebagai upaya menjadikan TJSL sebagai mandatory. Lebih lanjut, dengan memaksimalkan sector bisnis swasta dalam era globalisasi telah berkembang begitu kuat dan peran negara semakin minimal. Pemerintah sebagai regulator, harus memastikan sektor bisnis swasta dapat memberikan manfaat jangka pendek dan jangka panjang bagi kelangsungan ekonomi nasional. Berdasarkan hasil inventarisasi dan analisis, implikasi hukum adanya pengaturan pendanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang didasarkan pada kepatutan dan kewajaran menyebabkan terjadinya konflik norma (conflict of norm) didalam pengaturan pendanaan TJSP yang berlaku saat ini di Indonesia. Oleh karena pengaturan pendanaan TJSP menjadi beragam, ada yang dinormakan dengan mengunakan prosentase (%); kepatutan dan kewajaran; ukuran Usaha, cakupan pemangku kepentingan, kinerja keuangan, aspek keadilan dan kemampuan perusahaan; bahkan ada yang mengkombinasikan ketiganya sekaligus. Implikasi hukum lainnya berupa kekaburan norma (vague of norm) yang terdapat pada konsepsi kepatutan dan kewajaran yang dijelaskan pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) PP No. 47 Tahun 2012 tentang TJSL-PT. Selanjutnya, melalui pendekatan perbandingan dengan negara lainnya seperti Singapore, Hongkong, Belanda, Australia, Taiwan, dan India, diperoleh gagasan implementasi TJSP yang berbasis mandatory, terkait ruang-lingkup, program-program, sumber dan besaran pendanaan, pengawasan, dan sanksi sebagai bentuk pengaturan TJSP yang ideal nantinya. Kemudian melalui pendekatan statuta dan konseptual, diperoleh makna “kepatutan dan kewajaran” secara umum, yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin dan yurisprudensi Belanda. Gagasan rekonsepsi kepatutan dan kewajaran pada pengaturan pendanaan TJSP yang berbasis mandatory, menurut peneliti harus mengacu pada konsep “Corporate Social Liability doctrine” (novelty), yang mana materi muatanya harus dimaknai dan memenuhi kriteria: merupakan peraturan (regeling); sebagai ukuran proporsional pendanaan dalam bentuk prosentase; besarannya sesuai batas-batas norma riil rasional dan obyektif yang terdapat didalam masyarakat; ditujukan untuk programprogram yang memenuhi kebutuhan dasar pihak; Diperuntukkan bagi masyarakat sekitar perusahaan dengan perluasan area sasaran jika situasi dan kondisi telah memenuhi persyaratan; sumbernya diperhitungkan dari biaya perusahaan dan atau laba bersih yang diklasifikasikan dengan pembatasan minimal; aturan tersebut bisa ditimbulkan karena perjanjian atau peraturan perundang-undangan. Untuk mendukung gagasan rekonsepsi kepatutan dan kewajaran pada pendanaan TJSP yang berbasis mandatory tersebut, maka model besaran pendanaan yang digagas oleh peneliti adalah berbentuk prosentase. Dengan metode analisis yurimetrik yang dihitung mengunakan rumus statistik, digagas 2 (dua) model pendanaan dalam bentuk prosentase, yaitu Pertama, prosentase yang diperoleh dari rata-rata tertimbang, Kedua, prosentase dalam bentuk range klas interval. Lebih lanjut jika konsepsi yang digagas peneliti akan dipergunakan oleh pembuat undang-undang didalam menentukan besaran prosentase pendanaan TJSP nantinya, maka pembuat undang-undang dapat mengunakan salah satu model prosentase tersebut didalam pengajuan usulan RUU-TJSP di DPR-RI nantinya. Agar konsepsi kepatutan dan kewajaran yang digagas dapat “membumi”, dan dapat diimplementasikan dalam pasal-pasal RUU-TJSP, maka digagas pula dalam penelitian disertasi ini rumusan konsep kepatutan dan kewajaran dalam pendanaan TJSP tersebut. Selain itu, untuk mendukung gagasan implementasi pengaturan TJSP didalam praktek, peneliti juga mengagas konsep pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan (corporate empowerment doctrine), sehingga diharapkan program-program TJSP yang dilaksanakan dapat berkelanjutan, tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar guna mendukung dan mewujudkan welfare society. Sebagai rekomendasi, RUU-TJSP dalam PROLEGNAS 2015-2019 yang sudah didrop, sebaiknya diusulkan kembali dengan mengacu pada hasil kajian rekonsepsi TJSP yang berbasis mandatory dan model pendanaan yang digagas peneliti dalam penelitian disertasi ini.