Makian Terhadap Perempuan Dalam Komentar Postingan Topik Childfree Di Facebook

Main Author: Sari, Dea Erlinda
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2021
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/184686/1/DEA%20ERLINDA%20SARI.pdf
http://repository.ub.ac.id/184686/
Daftar Isi:
  • Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan bentuk kata makian berdasarkan teori Ramlan (2001), (2) kategori kelas kata yang mengacu pada teori Ramlan (1985), (3) klasifikasi referen makian Bahasa Indonesia yang mengacu pada teori Wijana (2004), (4) fungsi makian yang mengacu pada teori Andersson (1983), Rothwell (1973), dan Bolton Hutton (1997) dan (5) faktor-faktor munculnya makian pada childfree di Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dan teknik pustaka atau dokumentasi. Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, berdasarkan bentuk kata, makian pada komentar postingan bertopik childfree di facebook lebih dominan pada kata dasar (morfofonemis), karena makian berbentuk kata dasar memiliki tataran bentuk yang lebih kasar dan lebih mudah digunakan. Kedua, berdasarkan kelas kata, makian pada postingan childfree di facebook lebih dominan pada kata nomina, karena penulis komentar lebih mudah menggambarkan dan atau menyamakan suatu kata makian dalam bentuk benda yang memiliki referen buruk. Ketiga, berdasarkan referennya, makian muncul pada 8 referen, yaitu 1) keadaan, 2) binatang. 3) makhluk halus, 4) benda, 5) bagian tubuh. 6) aktivitas, 7) profesi, dan 8) kekerabatan. Keempat, berdasarkan fungsi makian, antara lain: 1) menghina, 2) mengancam, 3) mengungkapkan rasa kesal, 4) lawakan, 5) ungkapan heran, 6) menghasut, 7) misoginis. Keempat, faktor munculnya makian pada postingan childfree antara lain : 1) masyarakat Indonesia menganut budaya timur, 2) percaya keberadaan anak membawa rezeki, 3) childfree bertentangan dengan adat budaya Indonesia, 4) negara Indonesia kurang memberikan persiapan yang matang dalam ketersediaan fasilitas untuk lansia, dan 5) budaya patriarki masih mengakar pada masyarakat