Perbedaan Kadar Transaminase Pada Penderita Tuberkulosis Anak Sebelum Dan Sesudah Terapi Intensif

Main Author: Anggraeni, Trisha Astari
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/180041/1/Trisha%20Astari%20Anggraeni.pdf
http://repository.ub.ac.id/180041/
Daftar Isi:
  • Penyakit Tuberkulosis (TBC) menjadi masalah kesehatan global yang besar dan masuk dalam 10 besar penyakit penyebab kematian di dunia. Menurut World Health Organization, Indonesia menduduki peringkat kesembilan di dunia. Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid merupakan regimen terapi yang standar digunakan untuk pasien TBC anak. Hepatotoksisitas merupakan efek samping paling serius, ditandai dengan meningkatnya kadar transaminase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar SGOT dan SGPT pada pasien TBC sebelum dan sesudah pemberian OAT fase intensif. Desain penelitian yang digunakan adalah desain observasional analitik dengan rancangan pre-post test SGOT dan SGPT diperiksa pada serum menggunakan metode kolorimetri. Pengamatan dilakukan sebelum dan sesudah terapi intensif OAT menggunakan Isoniazid 50 mg, Rifampisin 75 mg, dan Pirazinamid 150 mg selama 2 bulan. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan uji Wilcoxon, uji Kruskall-Wallis dan uji Mann-Whitney. Kadar SGOT dan SGPT diperiksa sebelum dan sesudah terapi OAT fase intensif. Hasil penelitian pada 30 subjek menunjukkan perbedaan kadar SGOT yang signifikan (p=0,019; α < 0,05), SGOT yang lebih tinggi dari normal bukan berarti ada gangguan pada hepar, karena SGOT tidak hanya ada di hepar; kadar SGPT tidak signifikan (p=0,223; α < 0,05), maka penghentian OAT tidak perlu dilakukan. OAT diberikan kembali jika fungsi hepar kembali normal, dengan dosis lebih kecil yang masih masuk dalam rentang terapi, dengan tetap memonitor kadar enzim terapi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).