Pengaturan Pengusahaan Sumber Daya Air Berbasis Ekologi Pasca Putusan Mk NO. 85/PUU-XI/2013
Main Author: | Mahrus, Muhammad Ali |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/178411/1/Muhammad%20Ali%20Mahrus%20%282%29.pdf http://repository.ub.ac.id/178411/ |
Daftar Isi:
- Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 (PMK 85) pemerintah menindaklanjuti dengan mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum. Melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga diundangkan peraturan operasionalnya, di antaranya Peraturan Menterii Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 0i1/PRT/M/2i01i6 tentang Tata Cara Periizinan Pengusahaan Sumber Daya Aiir Dan Penggunaan Sumber Daya Aiir. Peraturan di atas adalah dasar hukum pengusahaan sumber daya air terbaru pasca PMK 85. Faktanya, kebijakan hukum pengusahaan sumber daya air tetap dibuka lebar untuk keterlibatan swasta dengan adanya Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Perpres tersebut memasukkan pengusahaan air minum oleh PMA hingga 95%. Penelitian tesis ini menjawab tiga rumusan masalah, yaitu pertama, apakah dimasukannya pengusahaan air minum dalam skema PMA hingga 95% dalam Perpres No. 44 Tahun 2016 tidak bertentangan dengan PMK 85? Kedua, Bagaimana negara c.q pemerintah mengkonstruksi sumber daya air dalam politik hukumnya (hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan)? Ketiga, bagaimana seharusnya formulasi politik hukum pengaturan sumber daya air yang ekologis? Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan empat pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan historis dan pendekatan kasus. Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum diperoleh melalui penelusuran kepustakaan, karya-karya akademik yang berkaitan dengan politik hukum, hukum dan pembangunan, hukum agraria dan ekologi. Sedangkan teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan analisis preskritif dengan bantuan metode analisis gramatikal, sistematis dan historis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya Perpres Nomor 44 Tahun 2016 yang memuat ketentuan pengusahaan air minum oleh PMA hingga 95% justru bertentangan dengan semangat dan filosofi penguasaan negara yang dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusan tentang undang-undang terkait sumber daya alam. Termasuk PMK 85 yang digali dari tafsir penguasaan negara atas sumber daya alam dalam putusan MK. Ketentuan PMA hingga 95% dalam Perpres tersebut mengurangi fungsi negara dalam pengelolaan sumber daya alam yaitu fungsi pengelolaan (beneersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad). Berkurangnya dominasi fungsi pengelolaan terjadi karena kebijakan hukum negara yang memberikan kebebasan investasi PMA hingga 95% untuk pengusahaan air minum. Substansi hukum di atas secara tidak langsung mengkonfirmasi argumentasi hukum pemohon dalam Judicial Review UU SDA bahwa kebijakan hukum air didesain untuk membentuk kerangka kerja institusional yang melibatkan keterlibatan sektor swasta dalam pengelolalaan sumber daya air melalui pengusahaan air. Adanya PP No. 121 dan PP No. 122, juga Perpres No. 44 adalah bukti yang cukup kuat. Kondisi pengaturan tersebut dalam perspektif kajian hukum dan pembangunan second moment yang mengikuti corak pembangunan neoliberal adalah kondisi di mana perubahan fungsi hukum yang dijadikan instrumen untuk membentuk kerangka kerja yang berkepastian hukum bagi aktor-aktor swasta. Fungsi hukum tersebut dalam praktik pembentukan UU SDA yang dimasukkan dalam politik hukum pembentukan perundang-undangan di DPR RI bersama pemerintah dan DPR sebagai lembaga yang berwenang. Kondisi existing kebijakan hukum Air di atas dengan demikian membutuhkan formulasi baru untuk politik hukum ke depan (ius constuendum) yang ekologis. Hal itu diperlukan dengan alasan adanya perubahan dunia yang salah satunya karena krisis sosial-ekologi seperti global warming, climate change yang memicu krisis air. Dalam konteks Air, PMK 85 telah memberikan enam batasan pengusahaan air dan dapat menjadi landasan tafsir ekologis yang dihubungkan dengan UUD NRI 1945 utamanya Pasal 28H dan Pasal 33.