Titik Singgung Kewenangan Mengadili Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Berdasarkan Sertifikat Tanah Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pertanahan Nasional Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
Main Author: | Putro, Bagus Prasetyo Purnomo |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/177985/ |
Daftar Isi:
- Titik singgung kewenangan mengadili antara peradilan tata usaha negara dengan peradilan umum terhadap sengketa hak atas tanah berdasarkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh badan pertanahan nasional sebagai keputusan tata usaha negara, merupakan sengketa dua wajah yang mengandung unsur hukum publik/administrasi dan unsur hukum perdata, sehingga menimbulkan benturan atas kewenangan hakim terhadap pemeriksaan sengketa pertanahan. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dan lembaga Peradilan Umum memiliki kewenangan yang sama dalam memeriksa, dan memutus sengketa pertanahan tersebut, sehingga diperlukan proses pemeriksaan dua kali untuk mencapai putusan yang Inkrah. Pertama memeriksa keputusan tata usaha negaranya, dalam hal ini adalah sertifikat hak atas tanah, dan kedua mengenai status kepemilikan tanah tersebut, jika hal tersebut dilakukan, maka akan bertentangan dengan asas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 2 ayat (4) menyebutkan, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, da biaya ringan. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan vi pelayanan administrasi peradilan yang mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien. Tujuan asas tersebut demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang beracara. Dikenal secara konseptual tentang tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, termuat dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor: 06 PK/TUN/2008, Tanggal 5 Mei 2008, menyatakan sebagai berikut:“Untuk menghindari putusan yang berbeda antara dua badan peradilan, sebaiknya ditempuh penyelesaian sengketa ke Peradilan Tata Usaha Negara terlebih dahulu, mengingat terbatasnya tenggang waktu menggugat, dan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang terbit terlebih dahulu dapat menjadi bahan pertimbangan badan peradilan lainnya/selanjutnya yang lebih lama dalam proses penyelesaian sengketa.” Adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor: 06 PK/TUN/2008, Tanggal 5 Mei 2008 dan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Peradilan Tata Usaha Negara vii menjadi lembaga pertama yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas sengketa pertanahan, yang kemudian putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara dijadikan alat bukti yang sahsaat proses pemeriksaan di Peradilan Umum, akan tetapi proses penyelesaian sengketa pertanahan yang harus melalui dua tahap pemeriksaan di dua lembaga peradilan sangat tidak efektif dan bertentangan dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga diperlukan lembaga peradilan khusus untuk menangani sengketa pertanahan tersebut.