Multi Tafsir Antar Lembaga Dalam Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
Main Author: | Timex, Hendhy |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/177876/ |
Daftar Isi:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/XIII-PUU/2015, makna dari perjanjian perkawinan mengalami perluasan. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 setelah adanya Mahkamah Konstitusi Nomor 69/XIII-PUU/2015, mengatur perjanjian perkawinan yang hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung (prenuptial agreement) menjadi dapat dibuat tidak hanya pada sebelum atau pada saat perkawinan tetapi juga pada waktu selama perkawinan itu sendiri (postnuptial agreement). Isu hukum dalam penulisan tesis ini adalah terkait amar 1.2 Putusan MK tersebut, yakni terkait pengesahan perjanjian perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Adanya multi tafsir dalam amar 1.2 Mahkamah Konstitusi Nomor 69/XIII-PUU/2015 yang mengakibatkan adanya multitafsir terkait kewenangan lembaga mana yang berhak dalam proses pembuatan dan pengesahan perjanjian perkawinan. Rumusan masalah yang diangkat dalam tesis ini adalah: 1) Bagaіmanakah multi tafsir dalam Рutuѕan Mahkamah kоnѕtіtuѕі nоmоr 69/РUU-XІІІ/2015 terhadaр рembuatan dan рengeѕahan рerjanjіan рerkawіnan? 2) Bagaіmanakah keberlakuan terhadaр рembuatan dan рengeѕahan рerjanjіan рerkawіnan yang benar dan ѕah ѕebagaіmana yang dіmakѕud dalam Рutuѕan Mahkamah Kоnѕtіtuѕі nоmоr 69/РUU-XІІІ/2015? Penelitian tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan metode pendekatan peraturan perundang-undang (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach). Teknik analisis yang digunakan adalah interpretasi hukum, hal ini dikarenakan isu hukum yang ada di dalam tesis ini adalah terkait kekaburan norma dalam amar 1.2 Putusan MK. Hasil dari pembahasan yang menjadi temuan dalam penelitian ini adalah: 1). Yang dimaksud dari amar 1.2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/XIII-PUU/2015 adalah pembuatan perjanjian perkawinan melalui akta autentik notaris dan berlanjut pada pencatatan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, adanya Putusan Mahkamah Agung yang berdasarkan pada undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi; dan 2) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memberi penjelasan terkait akta notaris dalam membuat perjanjian perkawinan, keberlakuan terhadap perjanjian perkawinan dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang benar dan sah menurut peraturan perundangundangan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1) Yang dimaksud oleh amar 1.2 Putusan MK terkait pembuatan perjanjian perkawinan adalah merujuk pada akta autentik yang dibuat notaris, dan pengesahan yang dimaksud adalah mencakup sampai pada proses pencatatan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Perjanjian perkawinan yang dibuat melalui permohonan ke pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hal ini berdasarkan asas res judicata pro veritate habeteur; 2) Meskipun dalam pasal 29 UU Perkawinan juncto Putusan MK tidak menyebutkan terkait akta autentik, dengan hasil analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang ada maka yang akta autentik adalah akta yang tepat bagi para pihak yang ingin mengadakan perjanjian perkawinan. Terkait keberlakuan dari permohonan penetapan perjanjian perkawinan dari pengadilan selain sudah mengikat para pihak, tetapi perlu dicatatkan ke pegawai pencatat perkawinan. Sedangkan permohonan perihal perjanjian perkawinan yang tepat kepada pengadilan adalah terkait pencatatan perkawinan, yakni jika perjanjian perkawinan telah dibuat tetapi belum dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.