Strategi Masyarakat Pesisir Dalam Penyelesaian Konflik Berkaitan Dengan Permen P.39/2017 Tentang Perhutanan Sosial
Main Author: | Alfian, Nur Wahyu May |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/177748/ |
Daftar Isi:
- Secara umum konflik merupakan kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salah satu pihak menghalangi atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat gagal tujuan dari pihak lain. Tidak ada satu pun masyarakat yang terlepas dari pengalaman berkonflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Dalam tatanan kehidupan social yang heterogen terdapat aktor-aktor baik individu atau kelompok yang cenderung memiliki perspektif dan kepentingan yang berbeda-beda.. Masing-masing aktor akan saling mengejar tujuannya yang berbeda-beda, mereka akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana yang ada. Jika diruntut dulu sampai kini isu utama dalam konflik sosial kebanyakan berkutat dalam hal penguasaan dan akses terhadap sumberdaya alam. Sumberdaya alam bukan saja menyangkut tanah, namun apa yang ada dibawah dan diatasnya. Apa yang tumbuh di atasnya dapat berupa tanaman pertanian, perkebunan dan perhutanan, lengkap dengan bangunan sosialnya. Sedangkan materi dibawahnya adalah air dan berbagai bahan tambang dan mineralnya. Berdasarkan catatan Kontras selama bulan januari hingga oktober 2018, kasus pelanggaran HAM di sektor SDA menduduki posisi tertinggi dengan jumlah kasus atau sebanyak 194 kasus. Lebih lanjut Wirajardjo et al. (2001) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat struktural. Konflik yang terjadi pun dapat berupa konflik vertikal serta konflik horizontal. Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa konflik sumberdaya alam selama ini terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan (control) dan akses terhadap sumberdaya. Adanya ketimpangan dalam hal penguasaan (control) dan akses sangat wajar dalam sebuah masyarakat. Konflik sosial akibat adanya P.39/2017 yang terjadi di beberapa daerah bahkan berujung kriminalisasi, tentunya disamping itu juga ada upaya resolusi konflik yang dilakukan oleh aktor-aktor terkait, terutama kelompok tani hutan bhakti alam lestari dusun sendang biru. Meskipun P.39/2017 dinilai baik sebab regulasinya pro kepada masyarakat, namun bagi sebagian kelompok menjadi malapetaka bagi kepentingannya. Bahkan terkadang demi tujuan yang baik pun suatu keputusan akan menuai pro kontra,jika justru keputusan tersebut dirasa tidak dapat memuaskan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif jenis studi kasus yang artinya penelitian yang berfokus pada satu konflik dalam skala lokal dan khusus sehingga dapat mengurai faktor-faktor konflik yang komprehensif dan mendalam. Situasi sosial dalam penelitian ini diantaranya tempat penelitian di wilayah perhutanan sosial yayasan Bhakti Alam Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang dengan melibatkan masyarakat asli wilayah tersebut yang mengalami konflik danvi kriminalisasi dalam pengelolaan perhutanan sosial. Selain itu juga melibatkan dari pihak yayasan Bhakti alam Sendang Biru dan KTh Bhakti Alam Lestari yang berinteraksi langsung dengan pengelolaan perhutanan sosial. Teknik purposive sampling digunakan penulis dalam pemilihan informan. Purposive sampling adalah pemilihan informasi secara strategis yang bertujuan untuk menggali kekayaan informasi, serta jumlah dan tipe informan berdasarkan tujuan penelitian. Metode pengumpulan data dilakukan secara wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Adapun dalam wawancara diambil narasumber sebagai berikut: 1) Ketua Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru; 2) Ketua KTH Bhakti Alam Lestari; 3) Masyarakat Sendang Biru; 4) Ketua-ketua KUPS; 5) Pihak KLHK (bidang konflik tenurial dan hak ulayat); dan 6) Pihak Perhutani. Dalam penelitian ini analisis yang digunakan terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara berurutan: seleksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Analisis data kualitatif dapat dijelaskan dengan menggunakan visualisasi analisis data. Penelitian dilakukan pada bulan Februari - bulan Juli 2019 di kawasan pesisir wilayah perhutanan sosial yang berada di wilayah Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Dalam pemanfaatan perhutanan sosial di Sendang Biru yakni meliputi sektor ekowisata pantai CMC Tiga Warna dengan hutan mangrove seluas 81 hektar. Selain itu juga ada rencana penanaman tanaman-tanaman di kawasan garapan hutan, meliputi: alpukat, jeruk, kelengkeng, sengon, kemiri, kenanga, durian, cengkeh, dan lain-lain. Oleh karena itu, erat kaitannya dengan pengelolaan wisata pantai yang berbasis konservasi mangrove serta hilirnya menuju sistem bagi hasil yang seringkali menimbulkan konflik antarplayers. Berdasarkan analisa mengenai konflik yang terjadi adanya kebijakan baru P.39/2017 menunjukkan bahwa kasus tersebut hadir karena adanya perbedaan kepentingan dan tujuan dari beberapa stakeholders. Terciptanya kepentingan dan tujuan tersebut didasari dari persepsi yang lahir dari pemahaman tertentu, seperti sistem nilai sosial. Sehingga pemahaman tersebut akan melahirkan kondisi gagasan dan cara bertindak. Stakeholder atau aktor terkait dalam kasus ini berasal dari pihak pemerintah maupun masyarakat. Dengan adanya beberapa aktor terkait yang memiliki kepentingan berbeda-beda, maka kasus ini pun menjadi sebuah konflik yang hadir di masyarakat. Kasus ini bereksklasi dari tahap awal dimana adanya kekecewaan terhadap aktor tertentu yang dianggap tidak bisa menjalankan sesuai fungsi dan tugasnya, dalam hal ini Perhutani. Dalam fase ini dapat dikatakan tahap konflik laten, dan fase laten tersebut dalam jangka waktu relatif lama. Kemudian dipicu dengan beberapa respon untuk menjatuhkan aktor yang dianggap lawan atau membahayakan kepentingannya (adanya penangkapan). Akhirnya konflik tersebut bereksklasi dengan mengerahkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki dan merangkul aktor yang memiliki kepentingan tidak beririsan. Model ekskalasi yang terjadi dalam kasus ini merupakan model perubahan struktur. Dimana dari aktor-aktor yang berkonflik akan memunculkan taktik dan upaya yang kemudian akan menimbulkan efek lain atau residu. Hal ini bisa terlihat ketika konflik sudah terlalu mengakar dan berdampak, maka ekskalasi konflik pun meluas tidak hanya berasal dari pihak awal yang bertentangan namun juga akan muncul aktor-aktor lain.