Perlindungan Hukum Korban Penipuan Transaksi Jual Beli Online Melalui Ganti Rugi Sebagai Pidana Tambahan Dalam Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Main Author: Kakoe, Silvony
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/177747/1/SILVONY%20KAKOE%20%282%29.pdf
http://repository.ub.ac.id/177747/
Daftar Isi:
  • Sebagai bentuk dari keseriusan pemerintah untuk menangani kasus yang timbul akibat informasi dan transaksi elektronik seperti penipuan transaksi jual beli maka di bentuklah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adapun penipuan transaksi jual beli online diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) UU ITE juncto Pasal 45A Ayat (1) UU ITE. Secara umum, UU ITE sebagai payung hukum untuk menegakkan setiap tindak pidana yang timbul akibat informasi dan transaki elektronik tidak mengatur perlindungan korban dalam bentuk ganti rugi (restitusi). Ganti rugi dalam bentuk retitusi kepada korban tindak pidana merupakan penjewantahan tercapainya hakhak korban yang merupakan salah satu bentuk keadilan. Permasalahan hukum yang terdapat dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana bentuk perlindungan hukum kepada korban penipuan transaksi jual beli online dilihat dari perspektif Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik? Kedua, apakah ganti rugi sebagai pidana tambahan dapat ditetapkan sebagai upaya melindungi korban penipuan transaksi online? Tujuan penelitian ini adalah adalah: Pertama, untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis terkait bentuk perindungan kepada korban penipuan transaksi jual beli online dilihat dari perspektif Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua, Mendeskripsikan apakah ganti rugi sebagai pidana tambahan dapat ditetapkan sebagai upaya melindungi korban penipuan transaksi online. Hasil penelitian menunjukan bahwa: Pertama, UU ITE hanya mengatur tentang pidana pokok terhadap pelaku tindak pidana penipuan transaksi jual beli online. Dari beberpa kasus terkait penipuan transaksi jual beli online, secara umum tidak memutus ganti rugi dalam bentuk restitusi yang mestinya diberikan kepada korban akan tetapi hanya memutus pidana pokok terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini terjadi tidak terlepas dari permohonan ganti rugi dalam bentuk restitusi hanya sebagai pilihan dalam sistem hukum pidana Indonesia sekarang. Setidaknya dapat dilihat dalam Pasal 98-101 KUHAP, Pasal 1365 KUHPer. Kewajiban restitusi hanya terbatas pada tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Padahal restitusi terhadap korban telah dapat dikatakan sebagai pemenuhan restorative justice dimana merupakan konsep keadilan yang sedang ingin dicapai dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Kedua, Ganti rugi dalam bentuk restitusi sebagai pidana tambahan merupakan satu pilihan yang sangat logis untuk memenuhi hak-hak yang selama ini seringkali tidak didapatkan oleh korban dari tindak pidana sekalipun proses hukum teradap pelaku tindak pidana telah dilakukan. Restitusi yang hanya menjadi opsi dan posisi korban yang pada umumnya awam perihal restitusi mengharuskan restitusi untuk diatur sebagai pidana tambahan. Dilihat dari perspektif restoratve justice, dimana merupakan konsep yang sudah dipakai di beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, menempatkan kejahatan adalah konflik orang perseorangan sehingga pemenuhan ganti rugi oleh pelaku kepada korban atau yang disebut sebagai restitusi merupakan hal yang harus dilakukan sebab kejahatan sebagai pelanggaran, pertama dan terutama melanggar hak perseorangan disamping juga melanggar hak masyarakat (kepentingan publik), kepentingan negara, dan juga sesungguhnya melanggar kepentingan pelanggar itu sendiri. Revisi UU ITE diperlukan untuk memasukan ganti rugi dalam bentuk restitusi sebagai pidana tambahan agar supaya restitusi tersebut tidak hanya menjadi opsi untuk diajukan akan tetapi menjadi kewajiban untuk dipenuhi oleh setiap pelaku tindak pidana ketika tindak pidana yang dilakukannya berakibat kerugian bagi korban. Melihat urgensi restitusi sebagai sutau hal yang mestinya dilakukan apabila terjadi kerugian kepada korban suatu tindak pidana seharusnya menjadikan praktik restitusi tidak dibatasi pada tindak pidana tertentu saja sebagaimana praktik yang ada di Indonesia sekarang, melainkan pada setiap tindak pidana yang mengakibatkan kerugian terhadap korban.