Politik Hukum Pengaturan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Main Author: Wijaya, Nofian
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/177515/1/Nofian%20Wijaya.pdf
http://repository.ub.ac.id/177515/
Daftar Isi:
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lahir atas dasar falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional. Namun, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini banyak kritik dari berbagi pihak. Pernyataan paling keras terhadap ketentuan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 datang dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) dan Komisi Nasional Perempuan. Salah satu alasan kritikan tersebut muncul akibat adanya problematika inkonsistensi hukum dalam Pasal 3 ayat 1 yang pada azasnya monogami sedangkan pada Pasal 3 ayat 2, dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuka peluang kepada seorang suami untuk berpoligami. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang politik hukum pengaturan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan solusi pengaturan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan kedepan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan historis. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan studi dokumen dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini bahwa politik hukum pengaturan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya fraksi Persatuan Pembangunan yang memberikan peluang untuk berpoligami dengan alasan menghindari perzinaan yang dilarang oleh agama. sedangkan fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), fraksi Demokrasi Indonesia, dan fraksi Karya meminta untuk memberikan persyaratan yang ketat untuk seorang priya yang akan melakukan perkawinan poligami. Solusi pengaturan perkawinan dalam Undangv Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedepannya dalam penyusunan RUU harus memenuhi semua asas-asas materi perundang-undangan dan menyertakan ahli Hak Asasi Manusia dalam merevisi atau penyusunan RUU perkawinan dengan alasan bahwa pada penyusunan RUU perkawinan pada tahun 1974 tersebut kurangnya perhatian terhadap Hak Asasi Manusia sehingga menimbulkan pernyataan-pernyataan yang merasa bahwa Undang-Undang perkawinan hanya menguntungkan salah satu jenis kelamin saja kedepannya lebih terperhatikan lagi.