Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Notaris Pada Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Selama Dalam Ikatan Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Studi Pada Notaris Wilayah Kerja Kota Malang)
Main Author: | Rachmawati, Risa |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/177039/1/Risa%20Rachmawati%20%282%29.pdf http://repository.ub.ac.id/177039/ |
Daftar Isi:
- Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebelumnya telah membatasi dibuatnya suatu perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan karena dipahami bahwa suatu perjanjian perkawinan haruslah dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Akan tetapi, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015, perjanjian perkawinan tidak lagi sebagai perjanjian yang dibuat sebelum berlangsungnya perkawinan tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan tersebut berlangsung atau selama dalam masa ikatan perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, sehingga bersifat final dan mengikat yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia. Namun dalam hal ini dikarenakan keluarnya kebijakan tersebut tanpa diikuti dengan keluarnya peraturan pelaksana, mengakibatkan dalam prakteknya banyak terdapat kesimpang siuran pemahaman dan perbedaan dalam penerapan hukumnya dikalangan para Notaris khususnya Notaris Kota Malang mengenai pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara aturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dengan prakteknya di masyarakat, keefektifan dalam pelaksanaannya di masyarakat masih belum sesuai seperti yang diharapkan, sehingga masih terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaan hukumnya. Disinilah peran penting seorang Notaris. dalam. mewujudkan .prinsip. kehati-hatian. demi .terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi para .pihak yang terkait dengan .akta yang dibuatnya, agar tidak menimbulkan suatu permasalahan dikemudian hari yang dapat membawa kerugian terhadap salah satu atau para pihak terkait akta tersebut, maupun terhadap Notaris. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengambil penelitian dan menulusuri lebih dalam tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Notaris Pada Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Pisah Harta Selama Dalam Ikatan Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Dari latar belakang tersebut, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut yaitu pertama mengapa penerapan prinsip. kehati-hatian Notaris diperlukan pada saat pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan. Mahkamah Konstitusi.Nomor. 69/PUU.-XIII/.2015, kedua bagaimana akibat hukum apabila Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugasnya tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian, ketiga bagaimana langkah-langkah.penerapan.prinsip.kehati-hatian.Notaris yang.seharusnya.pada.saat.pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan.Mahkamah.Konstitusi.Nomor. 69/PUU.-XIII/.2015. Hasil dari penelitian tesis ini didapat bahwa Notaris wajib mengedepankan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pasca Putusan mahkamah konstitusi No.69/PUU-XIII/2015, hal ini bertujuan agar jangan sampai akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya menimbulkan permasalahan atau sengketa dikemudian hari. Perubahan pasal 29 UU No.1/1974 pada Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015, masih terdapat beberapa permasalahan yang memerlukan kejelasan dan kepastian sehubungan dengan pembuatan perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain mengenai kaitannya dengan pihak ketiga, kedua berkaitan dengan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, serta mengenai keberlakuan perjanjian perkawinan pisah harta yang dibuat sepanjang perkawinan, apakah berlaku surut sejak tanggal perkawinan dilangsungkan atau mulai berlaku sejak saat dibuatnya perjanjian perkawinan. Tanggung jawab hukum apabila Notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian, yakni pertama, dapat dikenai tanggung jawab terhadap akta yang telah dibuatnya, akta tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan, serta status dari akta tersebut dapat dianggap sah atau tidak sah berdasarkan putusan pengadilan. Kedua, akibat hukum terhadap tindakan yang dilakukan oleh Notaris, Notaris dapat dikenai tanggung jawab keperdataan berupa penggatian biaya, ganti rugi, dan bunga.Tanggung jawab pidana jika telah terbukti memenuhi unsur pidananya.Serta tanggung jawab administratif, yang berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat.Sanksi-sanksi tersebut berlaku secara berjenjang. Penerapan prinsip kehati-hatian pada proses pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan pada perkawinan campuran pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, terdapat beberapa poin untuk memenuhi prinsip kehati-hatian yang harus diperhatikan Notaris, diantaranya yaitu identitas para pihak, objek yang diperjanjikan, mekanisme dan prosedur pembuatan akta perjanjian perkawinan pisah harta selama dalam ikatan perkawinan, waktu pembuatan, hubungan hukum dengan pihak ketiga, serta masa berlakunya perjanjian. Berdasarkan kesimpulan tersebut perlu dilakukan beberapa hal sebagai saran untuk ditindaklanjuti, adapun saran yang dapat penulis tawarkan yaitu sebagai berikut,kepada pemerintah, pascakeluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 sebaiknya segera dibuatkan peraturan pelaksananya sebagai rujukan dalam pembuatan aktanya perjanjian perkawinan.Untuk pasangan suami istri yang hendak membuat perjanjian perkawinan pisah harta selama perkawinan sebaiknya waktu mulai berlakunya ditentukan sehingga tidak berlaku surut.