Stigmatisasi Komunitas Fujoshi Penggemar Drama Boys Love Thailand 2 Moons The Series di Tengah Heteronormativitas Indonesia

Main Author: Syarfina, Rizka Hidni
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/176496/
Daftar Isi:
  • Bagi penggemar budaya Jepang, istilah fujoshi tentu tidak asing lagi. Fujoshi sendiri merupakan sebutan bagi penggemar manga boys love (BL), yakni cerita fiksi dengan genre hubungan percintaan laki-laki yang sifatnya homoromantis dan homoerotis namun dikhususkan bagi pembaca perempuan. Fenomena fujoshi sendiri tak hanya terjadi di Jepang, namun juga terjadi di Indonesia yang notabene masih menganut heteronormativitas. Para fujoshi yang ada di Indonesia lebih banyak menghabiskan waktunya di internet karena kemudahannya dalam mengakses informasi serta kemudahannya dalam berinteraksi tidak terbatas pada ruang dan waktu. Namun, ketertarikannya pada boys love membuatnya mendapat stigma, dianggap sebagai perempuan menyimpang karena telah keluar dari norma heteronormatif. Dalam prosesnya, peneliti menggunakan teori performativitas dari Judith Butler dalam melihat upaya komunitas fujoshi pecinta drama boys love Thailand 2 Moons The Series menghadapi stigma. Perfomativitas Judith Butler terkait dengan seks dan gender yang selanjutnya membentuk identitas. Dalam teori ini, Butler menolak pandangan heteronormatif yang terikat pada wacana maskulin dan feminin yang mana tidak memberi ruang dan toleransi terhadap bentuk-bentuk gender lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah netnografi. Data diperoleh dengan mengumpulkan data berupa observasi partisipan, wawancara, screenshot dan studi literatur. Selanjutnya, teknik analisis menggunakan analisis data model Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini memperlihatkan stigma yang melekat pada komunitas fujoshi dan bagaimana mereka menghadapinya. Stigmatisasi ini terlihat dari adanya pemberitaan mengenai fenomena fujoshi yang hanya membahas satu sisi negatif. Selanjutnya, beberapa upaya komunitas fujoshi dalam menghadapi stigma adalah membentuk grup tertutup, terbuka pada sesama anggota komunitas, dan menghidupkan grup media sosial.