Makna Ketentuan Pasal 1266 Dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Perjanjian Timbal Balik Yang Dituangkan Dalam Akta Notariil
Main Author: | Paramita, Adhisti Friska |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/176237/ |
Daftar Isi:
- Dalam penelitian tesis ini, berawal dari permasalahan dalam perjanjian, yang mana terdapat asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian sehingga seringkali para pihak membuat perjanjian timbal balik yang tertuang pada akta notariil mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini dilakukan para pihak untuk mengesampingkan permintaan pembatalan perjanjian ke Pengadilan dengan alasan untuk efisiensi. Berdasarkan hal tersebut, tesis ini mengangkat rumusan masalah: (1) Apa makna dari Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? (2) Apa implikasi yuridis atas pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam perjanjian timbal balik yang tertuang dalam akta notariil? Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach. Analisis bahan hukum pada penelitian ini menggunakan metode interpretasi atau penafsiran secara gramatikal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menerangkan bahwa secara hukum wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi, dapat menuntut pembatalan perjanjian melalui pengadilan, baik karena wanprestasi itu dicantumkan sebagai syarat batal dalam perjanjian maupun tidak dicantumkan dalam perjanjian, jika syarat batal itu tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim dapat memberi kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk tetap memenuhi perjanjian dengan memberikan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan. Sedangkan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi dari pihak lain untuk memilih 4 (empat) kemungkinan tuntutan, yaitu (1) Pemenuhan perjanjian ; (2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian ; (3) Pembatalan perjanjian ; (4) Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian. Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan perjanjian sepihak. Pengesampingan pasal 1266 dan pasal 1267 kitab undang-undang hukum perdata dalam perjanjian timbal balik yang tertuang dalam akta notariil memberikan implikasi yuridis yaitu dengan apabila terjadi wanprestasi maka pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri seperti yang tertuang dalam akta notariil. Pembatalan perjanjian tanpa melalui Pengadilan tidak mengembalikan ke keadaan semula, melainkan hanya membatalkan perikatan dan perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari v perjanjian tersebut tetap harus ditanggung oleh para pihak. Akan tetapi, apabila salah satu pihak merasa tidak menerima apa yang seharusnya menjadi haknya saat adanya pembatalan perjanjian timbal balik yang mengesampingkan kedua pasal itu, maka tidak menutup kemungkinan pihak yang dirugikan mengajukan gugatan kepada Pengadilan karena pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam perjanjian timbal balik tidak bisa menghapus hak seseorang untuk menuntut keadilan melalui Pengadilan.