Penafsiran Hakim Terhadap Frasa “Dapat Dibatalkan” Dalam Hal Terjadi Pembatalan Perkawinan
Main Author: | Suwandhani, Mia Louisa |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/174810/ |
Daftar Isi:
- Pada skripsi ini Peneliti mengangkat judul mengenai penafsiran hakim terhadap frasa “dapat dibatalkan” dalam hal terjadi pembatalan perkawinan. Latar belakang pemilihan judul tersebut karena Peneliti ingin menganalisis dan memahami bagaimana penafsiran hakim terhadap frasa “dapat dibatalkan” dengan menggunakan tiga putusan pembatalan perkawinan, yaitu Putusan No. 1322/Pdt.G/2012/PA.Plg yang disebabkan karena wali nikah yang tidak sah, Putusan No. 1135/Pdt.G/2013/PA.Po karena salah sangka terhadap diri suami yang melakukan poligami tanpa izin, dan Putusan No. 456/Pdt.G/2011/PA.Ska dimana para pihaknya merupakan saudara sepersusuan. Dari kasus tersebut diketahui bahwa nyatanya terdapat kasus dimana perkawinan harus dibatalkan, seperti pada contoh kasus tentang sepersusuan. Sedangkan menurut penjelasan dalam Pasal 22 UUP yang dimaksud dengan “dapat dibatalkan” adalah bisa batal atau bisa tidak batal. Sedangkan kasus perkawinan antar saudara sepersusuan dan beberapa kasus lain sebenarnya memiliki kewajiban untuk dibatalkan (seperti hal-hal yang diatur dalam Pasal 70 KHI yang menyebutkan syarat-syarat apa saja yang menyebabkan perkawinan batal demi hukum). Berdasarkan latar belakang diatas, skripsi ini mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana penafsiran hakim terhadap frasa “dapat dibatalkan” menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hal terjadi pembatalan perkawinan?” Untuk menganalisis permasalahan tersebut Peneliti menggunakan jenis penelitian Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Peneliti menggunakan Putusan No. 1322/Pdt.G/2012/PA.Plg., Putusan No. 1135/Pdt.G/2013/PA.Po, dan Putusan No. 456/Pdt.G/2011/PA.Ska., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam serta beberapa literatur yang akan dianalisis menggunakan metode interpretasi gramatikal, sistematis, dan ekstensif. Dari hasil penelitian dan analisis sesuai dengan metode diatas, maka Peneliti memperoleh hasil bahwa penafsiran hakim terhadap frasa “dapat dibatalkan” dalam Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan dalam Putusan No. 1322/Pdt.G/2012/PA.Plg., Putusan No. 1135/Pdt.G/2013/PA.Po, dan Putusan No. 456/Pdt.G/2011/PA.Ska. adalah “harus dibatalkan”. Sehingga maksud Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan terhadap frasa “dapat dibatalkan” bukan hanya bisa batal atau bisa tidak batal sebagaimana telah dirumuskan dalam penjelasan pasalnya. Namun kata dapat disini berartian bahwa suatu perkawinan akan menjadi batal apabila suatu saat setelah perkawinan tersebut berlangsung ditemukan pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan dan barulah perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalan dengan kewajiban memohonkan pembatalan tersebut ke muka pengadilan terlebih dahulu.