Implikasi Hukum Hak Komunal Terhadap Hak Ulayat Desa Adat (Kajian Atas Pasal 103 UU Desa dan Pasal 3 ayat (1) Permen ATR/KBPN N0. 10 Tahun 2016)
Main Author: | Aisyah, Dinda |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/174414/ |
Daftar Isi:
- Perkembangan sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh suku, bahasa, agama dan ras, oleh akibat beberapa faktor tersebut, maka hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk pluralisme hukum. Pluralisme hukum memiliki konsep dimana terdapat hukum negara dan hukum rakyat yang berdampingan, dimana yang dimaskud dengan hukum rakyat adalah hukum yang berasal dari kebiasaankebiasaan, konvensi-konvensi sosial, hukum adat maupun hukum agama, yang selanjutnya dipandang sebagai hukum. Salah satu bentuk konsep pluralisme hukum di Indonesia yaitu salah satunya adalah hadirnya hukum Adat. Masyarakat Adat di Indonesia sebagai entitas masyarakat yang hidupnya serta aturan hidup tidak terlepas dari Adat istiadat dan yang masih terikat Adatnya, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu hukum Adat. Konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), mengakui keberadaan masyarakat hukum Adat sekaligus norma-norma yang berada pada masyarakat hukum Adat tersebut. Ini ditegaskan pada Pasal 18B ayat (3), Pasal 28I ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 yang merupakan landasan yuridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum Adat. Namun, adanya penggunaan istilah masyarakat Adat dan masyarakat hukum Adat dalam berbagai produk perundang-undangan, menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki kesatuan pemahaman tentang masyarakat hukum Adat. Keberadaan masyarakat hukum Adat harus mendapatkan pengakuan terlebih dahulu oleh pemerintah, tetapi tidak ada penjelasan yang dapat menjadi acuan tentang definisi masyarakat hukum Adat, kedudukan, serta mekanisme yang tepat untuk pengakuannya. Hadirnya UU Desa, telah menempatkan kedudukan masyarakat hukum Adat sebagai subyek hukum publik, yang menjadi bagian dari pemerintahan. Desa Adat memiliki hak-hak asal-usul berupa hak untuk mengurus wilayah beserta segi kehidupan masyarakat hukum Adat yang disebut sabagai hak Ulayat masyarakat hukum Adat. Namun hadirnya Permen ATR/KBPN No. 10 Tahun 2016 telah melahirkan hak Komunal dimana mengatur tentang kepemilikan bersama atas tanah yang kemudian didaftarkan untuk perlindungan hukum terhadap penguasaan hak atas tanah dalam rangka kepastian hukum dan mewujudkan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini memiliki perbedaan konsep dengan hak ulayat milik desa Adat dan dapat berdampak pada status tanah yang dimiliki oleh desa Adat, yang awal mulanya berstatus tanah ulayat, yang di barengi hak Ulayat atasnya. Tetapi dengan hadirnya hak Komunal, yang hanya sebatas hak vii atas tanah akibat terbitnya sertifikat sebagai bentuk pengesahan tanah tersebut, hak Ulayat atas tanah ulayat yang lebih dahulu dimiliki desa Adat, kini menjadi tidak jelas akibat hadirnya hak Komunal. Akibat dari kekaburan makna terkait konsep hak yang dimiliki desa Adat atas tanahnya, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi tidak jelas, bagaimana tata cara pendaftaran tanah tersebut dan bagaimana pengelolaan dan peruntukan atas tanah tersebut, karena antara hak komunal dan hak Ulayat merupakan dua konsep yang berbeda. Norma yang kabur, multitafsir dan ambigu mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Padahal salah satu tujuan hukum adalah mewujudkan kepastian hukum.Untuk itu perlu adanya peninjauan kembali terkait konsep Hak Komunal, agar kemudian hak tersebut sesuai dengan Hak Ulayat yang dimiliki masyatakat hukum Adat yang merupakan suatu keniscayaan.