Tinjauan Yuridis Pasal 31 Dan 31a Undang-Undang Republik Indonesia No 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Main Author: | Larega, Marco Wednesto |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/169432/ |
Daftar Isi:
- Penyadapan merupakan salah satu kegiatan atau tindakan yang melanggar hukum dikarenakan tujuannya untuk mencari, merekam dan memperoleh mformasi orang lain tanpa diketahui orang tersebut dengan menggunakan jaringan mrkabe maupun telepon. Sehingga, penyadapan merupakan salah satu bentuk kegiatan yang menyerang hak asasi manusia khususnya hak privasi. Namun terdapat pengecualian di dalam konteks penegakan hukum, dimana penyadapan dapat dilakukan dan sah untuk dilaksanakan apabila penyadapan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk penegakan hukum. Yaitu, dimana para aparatpenegak hukum diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan di dalam undang-undang, salah satunya ialah undang undang antiterori sme. Penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rnenghadapi tindak kejahatan terorisme ini merniliki tujuan, salah satunya ialah untuk mengungkap ada atau tidak adanya tindak pidana terorisme. Di dalam Undang-Undang Nornor tahun 2018 Antiterorisme, tercantum syarat seorang penyidik agar dapat melakukan tindak penyadapan terhadap terduga teroris yang tertulis di dalam pasal 31 ayat yaitu, penyidik dapat melakukan penyadapan apabila is sudah memiliki bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup ini tidak dijabarkan lebih jelas di dalam undang-undnag tersebut mengenai apa saja yang dirnaksud dengan bukti permulaan yang cukup tersebut sehingga melalui bukti permulaan yang cukup tersebut, seorang penyidik dapat memulai tindak penyadapannya. Jika menurut putusan Mahkamah Konstitusi No 21 TUU-X11/2014, disana terdapat penjelasan mengenai apa saja bukti permulaan yang cukup tersebut, yaitu bukti permulaan yang cukup ialah bukti yang mengacu kepada pasal 184 KUHAP dimana sekurang-kurang,nya terdapat dua alat bukti diantara kelima alat bukti berikut, yaitu keterangan ahli, keterangan saksi, surat, petunjuk dan keternagan terdakwa. Sehingga, bukti permulaan yang cukup dapat diperoleh minimal dua alat bukti yang tercantum di dalam pasal 184 KUHAP. Namun di dalam undang-undang antiterorisme tersebut, terdapat suatu pasal yang menyatakan bahwa, laporan intelijen dapat dijadikan penyidik sebagai bukti permulaan yang cukup untuk memulai penyadapan. Hal ini terlihat menyimpang dari putusan Mahkamah Konstitusi mengenai bukti permulaan yang cukup. Penggunaan laporan Intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup dikhawatirkan dapat memberikan peluang terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Dikarenakan penggunaan laporan intelijen sebagai hukti permulaan yang cukup mi pun belum diatur dalam UU intelijen itu sendiri serta dapat rnengbasilkan keputusan yang subjektif, sedangkan upaya pemberantasan terorisme tersebut harus berpangkal kepada perlindungan hak asasi manusia. Kemudian di dalam pasal 3 IA mengenai keadaan mendesak yang dimana seorang penyidik jika berada dalam situasi "keadaan mendesak", penyidik dapat langsung melakukan penyadapan tanpa menunggu surat penetapa.n dari ketua pengadilan negeri di wilayah hukurnnya. Namun tetap dengan persyaratan bahwa penyidik harus tetap melaporkan dan meminta surat penetapan dari ketua pengadilan negeri selambat-lambatnya tiga hari dihitung dari waktu mulainya penyadapan. Kriteria "keadaan mendesak" masih terkesan luas dan kurang merinci."Keadaan Mendesak diambil dari Kitab Undang-Undang Fiukurn Mara Pidana, pasal 83 ayat (2) yang menafsirkan keadaan mendesak ialah dimana keadaan yang sudah memenuhi ketiga kategori berikut, pemufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi; pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara dan bahaya maut ataupun ancaman luka fisik yang serius yang mendesak. Sehingga kategori tersebut masih belurn terinci dengan jelas dan masih terkesan umum di dalam penjelasannya, sedangkan tindak pidana terorisme ialah tindak pidana khusus, jadi dalam penjelasannya mengenai kondisi keadaan yang mendesak hams dijabarkan sedetail-detailnya agar seorang penyidik tidak salab menafsirkan apakah keadaan tersebut bisa dikategorikan sebagai keadaan mendesak atau bukan dan dapat langsung melakukan penyadapan secepatnya. Penelitian ini memiliki dua bahasan utama yaitu mengenai (1) bagaimana, batasan bukti permulaan yang cukup dalam memulai tindak penyadapan dan (2) apa yang dimaksud dengan dalam keadaan mendesak di dalam undang-undang terorisme sehingga dapat melakukan penyadapan tanpa menunggu penetapan dari ketua