Akibat Hukum Jika Perundingan Tidak Menghasilkan Kesepakatan Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 141 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Main Author: | Buce P, Colleta Yves |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/167838/ |
Daftar Isi:
- Dalam perkara perselisihan dalam hubungan industrial sangat mungkin terjadi perselisihan antara pihak pengusaha dan pihak pekerja, dimana perselisihan tersebut terjadi karena ketidaksejalanan antara kepentingan pengusaha dan pekerja/buruh. Hal ini dapat terjadi jika dalam suatu perusahaan terdapat dua penafsiran berbeda antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang memiliki pandangan berbeda. Oleh karena itu jika dalam hubungan industrial terjadi perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka baiknya masing-masing pihak mengupayakan untuk menyelesaikan dalam suatu perundingan yang nantinya akan mencapai kata mufakat. Berdasarkan latar belakangtersebut diatas, maka permasalahan hukum yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah apa akibat hukum jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 141 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Untuk menjawab permasalahan diatas, penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti diperoleh melalui penulusuran kepustakaan dan pendapat para ahli. Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh komparatif sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab isu hukum yang telah dirumuskan. Berdasarkan pembahasan, maka dapat diseimpulka: 1) dalam Pasal 141 Ayat (4) sudah diatur akibat hukumnya, yaitu, perkara perselisihan hubungan industrial dilimpahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). 2)Undang-Undang pasal tersebut dibuat ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum terbit. 3)setelah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 terbit, mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 141 Ayat (4) tidak mungkin dilaksanakan karena Undang-Undang tersebut mengatur prosedur tersendiri. Dengan demikian perselisihan hubungan industrial tersebut harus dikembalikan ke para pihak untuk diteruskan ke pengadilan hubungan industria (PHI) atau tidak.