Linguistic Landscape As A View Of Multilingualism: The Case Of Malang City
Main Author: | Mu’in, Mohamad Fathul |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/166684/1/Mohamad%20Fathul%20Mu%E2%80%99in.pdf http://repository.ub.ac.id/166684/ |
Daftar Isi:
- Multilingualisme, sebuah istilah yang merujuk pada suatu masyarakat yang berbicara menggunakan lebih dari satu atau bahkan dua bahasa semakin sering akhir-akhir ini. Multilingualisme telah berkembang dengan cepat di seluruh dunia. Istilah ‘Lanskap Lingustik’ atau disingkat ‘LL’ diusulkan untuk menjawab isu tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bahasa yang terdapat pada tanda multilingual yang ditemukan di LL Malang. Perhatian juga diberikan terhadap dua jenis tanda publik untuk menemukan perbedaan antara tanda multilingual resmi dan tanda multilingual tidak resmi di dalam LL Malang. Dalam penelitian ini, tiga langkah analisis data digunakan untuk mengungkap perbedaan antara kedua jenis tanda ini; terjemahan timbal balik, arah penerjemahan, dan gagasan kekuasaan dan solidaritas. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menanggapi sasaran penelitian ini, meskipun ada data numerik yang hanya berperan sebagai data tambahan yang digunakan di dalam analisis. Dengan memilih area sepanjang Jalan Soekarno-Hatta atau Suhat yang berjarak di antara jalan setelah jembatan sampai perempatan monument pesawat MIG-17 Fresco, jumlah total data yang terhitung adalah 364 tanda multilingual yang tersusun oleh 30 tanda resmi dan 334 tanda tidak resmi. Bahasa yang digunakan di tanda tersebut antara lain Bahasa Inggris, Indonesia, Arab, Jawa, Jepang, Korea, dan Sunda. Bahasa tersebut ditemui di sekitar area ini dikarenakan area tersebut merupakan salah satu pusat kegiatan bisnis di Malang. Penemuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa Bahasa Inggris merupakan bahasa yang paling utama untuk digunakan di tanda publik. Bagaimanapun, Bahasa Indonesia masih menandai wilayah publik sebagimana ia muncul sebagai bahasa orisinil dari semua jenis tanda publik. Tanda resmi cenderung menunjukkan kekuasaanya di wilayah tersebut, sedangkan tanda tidak resmi menunjukkan solidaritas di antara orang-orang dalam masyarakat tersebut. Penelitian ini masih perlu untuk dikembangan lagi dan terbuka bagi para peneliti untuk melihat landskap linguistik di wilayah Malang yang lainnya. Membandingkan kedua wilayah yang berbeda dapat juga dilakukan. Terlebih lagi, akan menarik untuk meneliti kota lain di Indonesia, khususnya kota multibahasa seperti Jakarta, Semarang, Medan, dan masih banyak yang lainnya.