Konsep Catuspatha Pada Kawasan Puri (studi Kasus: Puri Agung Klungkung, Puri Agung Tabanan, Puri Agung Buleleng
Main Author: | Priyanka, Ida Ayu Santi |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/163166/ |
Daftar Isi:
- Pulau Bali merupakan sebuah pulau yang terkenal akan keindahan alamnya dan pulau yang menjunjung tinggi budayanya. Budaya dan keindahan alamnya yang membuat pulau Bali menjadi tempat wisata baik lokal hingga mancanegara. Hingga kini adat budaya di pulau Bali masih bertahan dikarenakan masyarakatnya yang masih patuh dan menaati setiap peraturan adatnya. Terjadi perubahan pada pulau Bali yang memberikan dampak besar dan mempengaruhi kesakralan dan adat tradisional kawasan tersebut. Adapun semenjak pulau Bali dikenal sebagai tempat wisata, hal ini juga mempengaruhi pertumbuhan pembangunan dan berpengaruh pada pola tata ruang di pulau Bali. Salah satu konsep yang mengatur tentang pola ruang pada kawasan Bali adalah konsep Catuspatha. Konsep Catuspatha merupakan konsep yang mengatur pola ruang berdasarkan empat mata angin, dan ditemukan dalam lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti dan lontar Batur Kelawasan. Hal yang terjadi di pulau Bali zaman sekarang menyebabkan dilakukannya suatu penelitian tentang hubungan konsep Catuspatha pada beberapa kawasan puri di Bali saat ini. Identifikasi ini difokuskan pada konsep Catuspatha pada pola tata ruang pada kawasan puri-puri Agung. Hal ini dianalisis dikarenakan masyarakat mulai lupa bahkan tidak mengetahui akan arti dari Catuspatha dan keberadaan konsep ini. Penelitian konsep Catuspatha pada dua kawasan puri Bali menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Penelitian ini berfungsi untuk menjabarkan dan menggali lebih lanjut tentang karakteristik kawasan puri yang terjadi dan dihubungkan dengan konsep Catuspatha. Kemudian setelah dianalisis, diolah kembali dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menyandingkan pola ruang yang terjadi pada tiga kawasan puri yaitu, Puri Agung Klungkung, Puri Agung Tabanan Dan Puri Agung Buleleng. Untuk melihat pola perempatan pada konsep Catuspatha dapat melalui orientasi bangunan, zonasi kawasan menggunakan konsep tradisional serta hubungan ritual yang dilaksanakan disana. Pengaruh dari kondisi geografis seperti ketinggian tapak akan berpengaruh pada peletakkan tata ruang kawasan puri. Adanya perubahan sistem pemerintahan, yang dahulunya diwakilkan oleh puri dan terletak di pempatan agung, sekarang digantikan oleh kantor bupati atau kantor pemerintah yang terletak di area Catuspatha, sehingga mengubah beberapa tata letak bangunan. Dapat dilihat bahwa konsep Catuspatha bersifat tidak mutlak dan dinamis dikarenakan dapat mengikuti perkembangan zaman. Faktor seperti bertambahnya jumlah penduduk sehingga meningkatnya kebutuhan dan aktifitas masyarakatnya serta perubahan sistem pemerintahan juga mempengaruhi pembagian zonasi dan orientasi. Persamaan yang ditemukan pada objek adalah zonasi pada tiap bangunan puri dan sekitarnya termasuk dalam zonasi yang sama yaitu Puri Agung sebagai Utama Mandala dan bersifat sakral serta elemen-elemen Catuspatha lainnya termasuk dalam Madya Mandala yang bersifat profan. Perbedaan yang ditemukan pada objek adalah sistem orientasi yang menggunakan gunung sebagai pedoman. Puri yang orientasi gunung terletak di Utara meletakkan bangunan puri di bagian Barat Laut atau searah dengan Gunung, sedangkan puri yang orientasi gunung terletak di Selatan meletakkan bangunan puri di sebelah Barat Daya.