Kepastian Hukum Kewajiban Penggunaan Bahasa Dalam Pembuatan Kontrak Bisnis Di Indonesia (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Praya No.35/Pdt.G/2010/PN.PRA dan Putusan Pengadilan NegeriJakarta Barat No.451/Pdt.G/2012/Pn.Jkt.Bar)
Main Author: | Hayati, Asna Nurul |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/1623/1/Asna%20Nurul%20Hayati.pdf http://repository.ub.ac.id/1623/ |
Daftar Isi:
- Penulis mengkaji tentang kepastian hukum kewajiban penggunaan bahasa dalam pembuatan kontrak bisnis di Indonesia. Pilihan tema ini dilatarbelakangi karena dalam Undang-Undang No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lembaga Negara serta Lagu Kebangsaan mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam pembuatan nota kesepahaman/perjanjian, apabila melibatkan pihak asing dalam pembuatan kontrak tersebut maka dibuat juga dalam bahasa negara warga asing tersebut atau menggunakan Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional. Jika tidak menggunakan Bahasa Indonesia, maka akan dikenakan sanksi, namun di dalam Undang-undang tersebut tidak disebutkan dan dijelaskan sanksi seperti apa yang dikenakan. Berdasarkan hal di atas, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah : (1) Bagaimana kepastian hukum penggunaan Bahasa Indonesia dalam pembuatan kontrak bisnis di Indonesia? (2) Bagaimanakah analisa hukum Putusan Pengadilan Negeri Praya No.35/Pdt.G/2010/Pn.Pra dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.451/Pdt.G/2012/Pn.Jak.Bar terkait dengan penggunaan Bahasa Indonesia dalam pembuatan kontrak bisnis di Indonesia? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (Case approach), bahan hukum didapatkan dari studi kepustakaan dan internet dengan menggunakan teknik analisis interpretasi gramatikal. Dari hasil penelitian dengan metode di atas, Peneliti mendapatkan jawaban atas permasalahan yang ada bahwa ketiadaan sanksi yang disebutkan dan ix dijelaskan dalam Undang-Undang No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lembaga Negara serta Lagu Kebangsaan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dalam penggunaan Bahasa Indonesia dalam pembuatan kontrak bisnis di Indonesia, adapun Undang-Undang No. 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris mengatur tentang ketentuan bahasa tersebut disertai sanksi yang jelas, namun hanya berlaku bagi akta otentik, sedangkan akta di bawah tangan tetap tunduk pada Undang-Undang No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lembaga Negara serta Lagu Kebangsaan. Karena Undang-Undang No. 24 tahun 2009 tidak mengatur dengan jelas terkait sanksi, maka hal ini mengacu pada yurisprudensi atau putusan pengadilan terdahulu. Dari yurisprudensi didapatkan jawaban bahwa apabila para pihak sepakat menggunakan satu bahasa,yaitu Bahasa Indonesia saja atau Bahasa Inggris saja dalam kontrak mereka dan menuangkan kesepakatan tersebut di dalam kontrak, maka apabila terjadi sengketa dikemudian hari karena penggunaan bahasa kontrak tersebutmaka para pihak menyatakan kontrak tetap sah, namun jika kesepakatan mereka tidak dituangkan di dalam kontrak dan kontrak tersebut berbentuk akta otentik maka kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan, sedangkan jika kontrak berbentuk akta di bawah tangan maka kontrak tersebut berakibat batal demi hukum.