Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/Puu-Xii/2014 Terkait Dengan Penetapan Tersangka Tindak Pidana
Main Author: | Yudha P, Jehan Bingar |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/161666/1/Jehan%20Bingar%20Yudha%20P.pdf http://repository.ub.ac.id/161666/ |
Daftar Isi:
- Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 Terkait Dengan Penetapan Tersangka Tindak Pidana maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yaitu pada Pasal 1 ayat (2) KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang- wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip due process of law serta melanggar hak atas kepastian hukum yang adil; Pasal 1 angka 14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 KUHAP yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidakpastian hukum; Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah multi tafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidak adilan karena jumlah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih sangat banyak jumlahnya. dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945; 4. Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentianpenuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pasal 156 ayat (2) KUHAP menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa yang melakukan banding atas putusan sela yang menolak eksepsi terdakwa. 2. 1) Akibat hukum yaitu adanya pendapat yang berbeda dalam beberapa pasal mengenai bukti permulaan dan dalam pasal terdapat bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, 2) mengakibatkan adanya kekaburan hukum dalam makna bukti permulaan yang dikaitkan dengan jumlah alat bukti yg dikaitkan dengan undang-undang 3) Kesulitan Penyidik, penetapan tersangka adalah ujung dari proses penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” 4) Keilmuan/ adanya pendapat yang berbeda. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negatif legislator Putusan MK yang bersifat positive legislator namun dalam kasus ini Mahkamah Kontitusi sebagai Positif Legislator merupakan bagian dari praktik judicial activism peran hakim sangat kuat karena memiliki kewenangan melakukan Judicial Activism (penalaran legal, argumentasi legal, dan rechtsvinding/penemuan) melakukan penalaran atau membuat kebijakan yang dilakukan oleh hakim dengan maksud agar tujuan hukum dapat dicapai. Dan apabila tidak terwujudakan ada kekosongan hukum karena dalam putusan pasal dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terdapat perbedaan dan bertentangan dengan undang-undang sehingga di butuhkan penalaran atau kebijakan yang di ambil oleh hakim