Kebijakan Formulatif Upaya Hukum terhadap Putusan Bebas bagi Penuntut Umum dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Main Author: Artha, IGede
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2012
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160986/
Daftar Isi:
  • Disertasi ini merupakan penelitian terhadap putusan bebas dalam beberapa kasus pidana yang diputus oleh hakim, dan menyangkut upaya hukum banding dan kasasi. Proses hukum yang adil ( due process of law ) dalam peradilan pidana Indonesia cenderung belum memberikan kepuasan bagi pencari keadilan. Banyaknya kasus pidana yang mendapat hukuman bebas seperti korupsi, narkotika, pembunuhan dan yang lainnya mengundang opini dan kontra oleh masyarakat luas. Kalangan praktisi maupun teoritisi hukum begitu pula pencari keadilan sering menyorot tajam putusan hakim dinilai sebagai peradilan yang direkayasa, penuh mafia dan kecurangan. Hukum Acara Pidana Indonesia atas landasan KUHAP masih tampak mengandung disharmonisasi norma hukum berupa tidak memberi kewenangan pada penuntut umum mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi atas putusan bebas seperti tersurat dalam Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, sehingga menciptakan ketidakseimbangan atau ketidakadilan norma hukum yang ada tentang pengaturan putusan bebas, tampak seperti adanya norma kosong, bahkan adanya norma kabur dalam hukum acara pidana atas landasan KUHAP tersebut. Dari fenomena di atas melahirkan permasalahan : 1. Mengapa penuntut umum tidak diberikan kewenangan oleh KUHAP untuk mengajukan upaya hukum banding dan kasasi terhadap putusan bebas?, 2. Bagaimana bentuk konstruksi hukum sebagai langkah kebijakan hukum pidana formil untuk upaya hukum dalam putusan bebas dalam SPP Indonesia perspektif ius constituendum? Disertasi ini menggunakan jenis penelitian normatif, dengan ditunjang oleh bahan hukum empirik. Penelitian bertujuan memberi solusi atas dishamonisasi yang terjadi dalam putusan bebas dan upaya hukumnya bagi penuntut umum. Disamping juga memberi masukan secara keilmuan bagi kalangan teoritik dan praktik. Dalam mengkaji putusan bebas ini menggunakan beberapa pendekatan seperti the statu approach , the analitical and conceptual approach , the case approach , the comparative approach dan philosophical approach . Sumber bahan hukum yang diteliti menyangkut bahan hukum primer, subsider dan tersier. Secara substansial putusan bebas dibandingkan pula dengan putusan lepas. Putusan bebas masih pula dipertentangkan menyangkut perlu atau tidaknya dimintakan upaya hukum. Pihak yang tidak setuju putusan bebas dimintakan upaya hukum karena putusan bebas dianggapnya sebagai suatu `hak` bagi terdakwanya. Pihak yang setuju memandang putusan bebas perlu dikontrol, dikoreksi pada tiap tahapan proses, karena putusan bebas di tingkat pertama oleh hakim pengadilan negeri belum tentu tepat. Putusan bebas juga dikenal di berbagai negara seperti : Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Korea, Jepang dan lain-lain, namun bervariasi dalam penjatuhannya. Putusan bebas bagi Indonesia perlu dikaji dari perspektif hukum pidana, hukum acara pidana, hak asasi manusia. Putusan bebas sifatnya abstrak, namun dapat dirasakan oleh pencari keadilan, berupa puas tidak puas, adil tidak adil, tepat atau tidak. Sehingga putusan bebas bersentuhan dengan aspek filosofis (ontologi, epistemologi, aksiologi dan ideologi). Harapan pencari keadilan adalah lahirnya putusan-putusan hakim dengan pembebasan berintikan keadilan substantif. Beberapa teori hukum seperti teori hukum progresif menghendaki semua penegak hukum dalam sistem peradilan pidana untuk berpikir, bertindak dan mengambil keputusan yang responsif, dan progresif sesuai perkembangan tuntutan pencari keadilan. Khususnya hakim dalam memutus perkara dengan putusan bebas, betul-betul menerapkan dan menegakkan aturan hukum secara prosedural dan substansial atas justifikasi dan acuan legal justice, moral justice dan sosial justice, tanpa mengurangi dan mengabaikan asas legalitas, sebagai hal hakiki dalam hukum pidana. Perspektif ke depan formulatif upaya hukum terhadap putusan bebas dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam KUHAP diadakan reformulasi terhadap Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, sehingga bagi penuntut umum mempunyai kewenangan atributif dalam memperjuangkan keadilan atas putusan bebas bagi semua pencari keadilan pada tiap tingkatan proses beracara dalam proses hukum yang adil ( due process of law ) melalui upaya hukum banding dan kasasi. Perkembangan praktek hukum di Indonesia dengan tercipta istilah bebas tidak murni tersebut memicu dan memacu banyaknya putusan bebas dengan dalih bebas tidak murni oleh penuntut umum dimohonkan kasasi pada Mahkamah Agung, sehingga menjadi beban bagi MA dengan banyaknya perkara menumpuk di MA. Maka untuk masa mendatang putusan bebas dapat dikontrol, dikoreksi untuk dapat dimohonkan banding oleh penuntut umum, demi kebenaran dan keadilan. Sehingga setiap putusan bebas yang diputus hakim tidak menciptakan opini kontroversial dari publik. Putusan bebas yang diciptakan hakim memenuhi rasa keadilan semua pihak untuk menghapus citra peradilan khususnya menyangkut putusan bebas yang selama ini dianggap penuh nuansa ketidakjujuran dari hakim dengan tuduhan adanya suap-menyuap, jual-beli putusan, mafia praktek, yang mestinya diputus bebas hakim memidana berat atau sebaliknya yang mestinya dipidana namun terdakwanya diputus bebas. Fenomena seperti itu menimbulkan cemohan publik bahwa telah terjadi peradilan sesat dalam dunia praktek peradilan di Indonesia. Perspektif ke depan konstruksi pengaturan putusan bebas menyangkut banding adalah: `terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama, terdakwa atau penuntut umum dapat dan atau berwenang mengajukan permintaan banding kepada Pengadilan Tinggi termasuk putusan bebas.` Dan konstruksi pasal putusan bebas untuk kasasi adalah: `terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat dan atau berwenang mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung termasuk putusan bebas.`