Pembangunan Hukum Perbankan Syari’ah dalam Sistem Hukum Perbankan Nasional (Kajian Prinsip Wadi’ah dan Mudlarabah)
Main Author: | Suwandi |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2011
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160926/ |
Daftar Isi:
- Perbankan syari`ah dalam konteks Indonesia secara berurutan mendapatkan kekuatan regulasi sejak tahun 1992 dengan diterbitkannya UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan berakhir dengan UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Serentetan undang-undang tersebut secara operasional masih menyisahkan permasalahan regulasi, khususnya dalam hal prinsip syari`ah. Prinsip syari`ah tersebut adalah prinsip wadi`ah dan mudlârabah yang secara konseptual memiliki ambiguitas pengertian, baik dari sudut pandang peraturan perundang-undangan maupun konsep hukum Islam sebagai hukum asal perbankan syari`ah. Keberadaan Dewan Syari`ah Nasional sebagai lembaga keagamaan-pun juga menjadi persoalan tersendiri dalam kaitannya dengan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Penelitian tentang pembangunan hukum perbankan syari`ah dalam prinsip wadi`ah dan mudlârabah ini digolongkan sebagai penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mengetahui dan memaparkan perkembangan atau dinamika internal pengaturan hukum. Permasalahan subtansi hukum dan lembaga hukum yang berkaitan, dipikirkan dan dianalisis untuk dicarikan solusinya guna mendapatkan bangunan hukum perbankan syari`ah yang berwawasan (kultur) keindonesiaan. Pisau analisis yang dipergunakan untuk membahas permasalahan hukum dalam penelitian disertasi ini adalah teori Maqâhshid Syari`ah (teori maslahat) sebagai grand theory, teori Sistem Hukum sebagai middle range theory, dan Eklektisisme Hukum dan teori Daya Ikat Peraturan sebagai applied theory. Selain itu beberapa asas hukum juga dipergunakan untuk membantu analisisis guna menemukan jawaban yang tepat dan benar tentang pemasalahan yang ditetapkan. Akhir dari penelitian disertasi ini adalah kesimpulan, di mana prinsip wadi`ah pada hakikatnya belum terakomodir dalam aturan perundang-undangan, dikarenakan prinsip wadi`ah diartikan sebagai wadi`ah yad dlamânah yang secara artifisial berubah menjadi qaradl (utang-piutang). Perbedaan keduanya terletak pada akibat hukumnya. Akibat hukum dari prinsip wadi`ah tidak membenarkan pihak kedua (bank syari`ah) mendayagunakan uang simpanan dan/atau tabungan. Sedangkan wadi`ah yad dlamânah membolehkan pihak kedua mendayagunakan uang simpanan dan/atau tabungan, yang notabenenya adalah prinsip qaradl (utang piutang), padahal perjanjiannya jelas menggunakan prinsip wadi`ah bukan qaradl (utang piutang). Implementasi prinsip wadi`ah, di sisi lain juga menunjukkan ketidakadilan para pihak. Bank mendayagunakan uang simpanan dan/atau tabungan berdasarkan produk-produk bank syari`ah, meniscayakan adanya pendapatan atau profit, sementara pihak nasabah tidak mendapatkan apapun karena prinsip wadi`ah yang memang tidak memberikan kemungkinan diterimanya profit dari pihak bank syari`ah atas penghasilan dari modal simpanannya. Mudlârabah sebagai prinsip penghimpunan dan penyaluran dana juga melahirkan ketidakadilan bagi para pihak, karena penggunaan jaminan yang tidak proporsional. Pihak bank sebagai debitur (mudlârib) tidak melatakkan jaminan sebagai instrument kerjasama. Sedangkan bank sebagai kreditur (shâhib al-mâl) meletakkan jaminan kepada nasabah debitur sebagai instrument kerjasama. Sekalipun demikian penerapan prinsip mudlârabah harus tetap dilaksanakan, karena apabila tidak, justru akan menimbulkan kerugian yang lebih berat, yaitu baik nasabah maupun bank syari`ah keduanya tidak mendapatkan hasil apapun, sehingga penerapan prinsip mudlârabah tersebut dianggap pilihan yang paling tepat. Tidak masuknya Dewan Syari`ah Nasional (DSN) sebagai lembaga fatwa pada tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, atau dikarenakan bukan lembaga negara, mengakibatkan fatwa prinsip syari`ah yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibatnya fatwa tentang prinsip wadi`ah dan mudlârabah hanyalah merupakan fatwa keagamaan yang berfungsi sebagai informasi atau pedoman pelaksanaan yang tidak mengikat. Solusi pembangunan hukum diarahkan kepada terusungnya prinsip umum syari`ah dalam hal hukum ekonomi Islam (perbankan syari`ah) untuk disandingkan (eklektis) dengan hukum umum (hukum positif Indonesia). Prinsip umum tersebut adalah prinsip ibahah (yaitu sebuah prinsip ekonomi Islam yang secara umum membolehkan berbagai cara selama tidak bertentangan dengan nas atau aturan hukum yang berlaku). Prinsip ibahah ini sekaligus dipergunakan untuk mengganti prinsip wadi`ah sebagai prinsip penghimpunan dana oleh bank syari`ah. Dengan demikian istilah simpanan dan tabungan sebagaimana disebutkan dalam undang-undang perbankan syari`ah ditetapkan sebagaimana adanya, untuk diimplementasikan berdasarkan prinsip ibahah.