Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat (Woe) dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur
Main Author: | Geme, MariaTheresia |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2012
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160911/ |
Daftar Isi:
- Jasa kultural hutan membentuk identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, nilai peninggalan pusaka, rekreasi. Di Indonesia, jasa kultural hutan ditemukan pada masyarakat hukum adat yang secara turun temurun mendiami kawasan hutan belantara. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menentukan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Perlindungan hukum berkaitan dengan identitas hukum Indonesia yang bersifat melindungi dan mengayomi segenap bangsa Indonesia. Tindakan eksploitasi hutan,maupun perlindungan hutan pada tingkat tertentu berdampak pada pemusnahan kehidupan komunitas tersebut beserta kekayaan keragaman budaya, nilai religius dan spiritual, pengetahuan tradisional yang sebenarnya telah teruji dalam rentang waktu yang panjang mampu merawat keharmonisan relasi antara manusia dengan hutan dan sumber daya alam di sekitarnya. Penelitian ini mengkaji kehidupan masyarakat hukum adat di Kawasan Hutan Watu Ata Kabupaten Ngada-Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dalam bahasa setempat disebut Woe. Mereka telah hidup teratur secara bertahun-tahun, turun temurun namun model pengelolaan state based forest management telah memarginalkan mereka sebagai kelompok yang tidak teratur, stagnan pada fase tribalism, tak berbudaya dan perusak hutan dan lingkungan. Pada tahun 1932 pemerintahan kolonial Belanda menetapkan hutan Watu Ata sebagai hutan tutupan berdasarkan Zelfbstuurabesluit 1932 No.20 tanggal 29 Juni 1932. Larangan tersebut bertujuan untuk menjaga ketersediaan air bagi kehidupan orang-orang Belanda yang membangun pemukiman di Pasanggerahan Bajawa, sebagai cikal bakal berdirinya kota Bajawa ibu kota Kabupaten Ngada. Pada tahun 1983 pemerintah mengukuhkan fungsi kawasan tersebut menjadi hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:89/Kpts-II/1983 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1992 Pemerintah meningkatkan fungsi hutan lindung menjadi fungsi Cagar Alam. Sebagai zona zero management area, cagar alam harus dibiarkan berubah secara alami. Hal itu berarti masyarakat hukum adat harus melepaskan semua haknya atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainya yang terdapat dalam kawasan Cagar Alam. Penelitian ini mempertanyakan 3 hal yakni: Dinamika perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat (Woe) dalam pengelolaan Kawasan hutan Watu Ata, Bagaimana keberadaan Woe sebagai masyarakat hukum adat dalam pengelolaan kawasan hutan Watu Ata; Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang menjamin keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat atas kawasan dan pelestarian fungsi hutan Watu ata. Dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris juga berpijak dari beberapa teori yang relevan yakni teori negara hukum, teori keadilan, teori pluralism hukum dan teori efektifitas hukum ditemukan bahwa dinamika perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat (Woe) pada pengelolaan hutan Watu Ata dari era ke era berbasis hukum negara, tidak memberdayakan daya pikat kekuatan pluralisme hukum dan tidak mengarah pada tujuan mensejahterakan masyarakat. Ditemukan bahwa masyarakat hukum adat (Woe) mempunyai sistem hukum yakni struktur masyarakat yang teratur, pola zonasi yang tetap dipatuhi berdasarkan nilai-nilai kosmis, religius dan harmoni, memiliki badan peradilan adat dan didukung budaya hukum masyarakat hukum adat yang masih patuh pada ketentuan hukum adat. Sebagai hukum yang bersifat dinamis hukum adat dapat berkomunikasi dalam lalu lintas hukum yang bergerak sehingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan baru untuk membentuk model pengelolaan yang lebih responsif. Disarankan kepada pemerintah pusat agar segera mengevaluasi status fungsi cagar alam Watu Ata untuk disesuaikan dengan budaya hukum masyarakat hukum adat (Woe); Bagi Pemerintah Daerah: Agar program pemberdayaan institusi kepemilikan dan pemanfaatan ruang kawasan menurut masyarakat hukum adat terus dilakukan demi terjaminnya hak-hak masyarakat hukum adat dan pelestarian hutan; Untuk mencapai keadilan dalam pengelolaan hutan Watu Ata maka dikembangkan model pengelolaan sumber daya hutan secara kolaborasi berbasis masyarakat hukum adat.