Penguasaan Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) oleh Masyarakat dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional

Main Author: Muhibbin, Moh
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2011
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160908/
Daftar Isi:
  • Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, sampai saat ini masih terdapat beberapa hal yang diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, belum dapat dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebagai peraturan dasar, Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) hanya mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya berupa hukum pertanahan nasional. Salah satu hal yang belum dijabarkan, adalah terjadinya penguasaan tanah timbul oleh masyarakat yang muncul di perairan pantai utara laut Jawa, khususnya di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan. Munculnya pulau-pulau lumpur ( Mud Island) yang disebut sebagai tanah timbul, merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis potensial untuk pertanian dan usaha pertanian tambak bahkan kegiatan industri yang dapat menimbulkan penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul tersebut. Penelitian tentang penguasaan tanah timbul ( aanslibbing ) oleh masyarakat dalam perspektif hukum agraria ini bertujuan untuk: 1) Mengkaji secara mendalam terhadap hakikat tanah timbul 2) Mendeskripsi, menganalisis dan mengkaji pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul yang tumbuh di pesisir pantai utara laut jawa.3) mendeskripsi sekaligus menganalisis status hak atas tanah timbul oleh masyarakat dalam hukum agraria nasional, serta 4) menemukan dan membangun konsep pengakuan dan perlindungan terhadap penguasaan atas tanah timbul oleh masyarakat dalam perspektif hukum agraria nasional. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis-sosiologis dengan pendekatan yuridis-sosio kultural yang bertumpu pada logika berpikir induksi konseptualis. Terdapat 4 (empat) teori yang menjadi alat untuk menganalisis bagaimana hubungan hukum antara subyek hukum penguasaan atas tanah timbul oleh masyarakat dalam perspektif hukum agraria nasional tersebut, yaitu: teori hukum Alam (lex naturalis) , teori Utilitarian, konsep pluralisme hukum (legal Pluralism) , dan teori hukum sebagai suatu sistem (the legal system) . Berdasar teori hukum alam, penguasaan tanah oleh masyarakaat itu dapat dilakukan pada wilayah yang tidak bertuan (tanah kosong), sedangkan menurut teori utilitarian, menjelaskan bahwa pada hakikatnya, manusia akan bertindak (melakukan tindakan) itu untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaannya, atau terhadap peraturan yang dibuat harus dapat memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sejumlah individu dalam masyarakat ( the greatest happiness for the greatest number ). Di dalam konsep pluralisme hukum memberikan pemahaman, bahwa suatu kondisi yang di dalamnya terdapat lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat. Sementara itu menurut teori hukum sebagai suatu sistem menjelaskan, bahwa hukum sebagai suatu sistem dalam operasinya mempunyai 3 elemen atau komponen dasar yang saling berinteraksi, yaitu struktur, substansi dan kultur hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh masyarakat didasarkan pada budaya masyarakat setempat yang memiliki mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat (inner order mechanism/self regulation ) yang secara nyata berlaku dan berfungsi sebagai sarana untuk mengatur perolehan penguasaan tanah timbul di pesisir pantai, diawali dengan pembukaan atas tanah yang tak bertuan ( tanah kosong ) yaitu munculnya tanah di pesisir pantai utara laut Jawa, khususnya di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan sebagai proses sedimentasi (tanah timbul) dengan mendapat izin dari Kepala Desa dan dituangkan dalam surat keterangan menggarap (surat Segel di Kabupaten Gresik) dan Surat Izin Pengelolaan Tambak Tanah Oloran (SIPTTO di Kabupaten Pasuruan), dikerjakan dan dikelola secara intensif dengan iktikad baik kemudian terjadilah penguasaan tanah oleh masyarakat dengan hak menggarap. Pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan sangat dibutuhkan oleh intensitas de facto (kesungguhan penggunaan atau penggarapan) manusia atas tanah tersebut. Semakin intens penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan antara manusia dengan tanahnya, sehingga semakin kukuh pula penguasaan atas tanah tersebut.