Kebijakan Formulasi Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam Rangka Pembaruan KUHP Nasional

Main Author: Noorsena, Bambang
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2012
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160894/
Daftar Isi:
  • Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak berdiri sebagai negara agama ( Theocracy ), tetapi sebaliknya juga bukan negara sekuler ( Secular State ). Berbeda dengan negara sekuler, karena negara didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka negara berkewajiban melindungi nilai-nilai agama, perasaan keagamaan dan masyarakat beragama. Hak beragama dan menyatakan pikiran bersifat non derogable , namun ada pembatasan-pembatasan yang diizinkan oleh undang-undang ( permisibble restriction ), karena alasan-alasan tertentu, antara lain `perlindungan hak asasi dan kebebasan orang lain`. Menurut Article 22 Number (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), `Setiap tindakan yang menganjurkan kebencian berda-sarkan kebangsaan, ras atau agama, yang merupakan hasutan untuk melakukan des-kriminasi, permusugan dan kekerasan dilarang oleh undang-undang`. Karena itu, keberadaan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dari perspektif HAM, dibenarkan. Meskipun demikian, karena Indonesia bukan negara agama maka yang harus dilindungi adalah nilai-nilai luhur dari semua ajaran agama yang dianut di Indonesia. Pasal 156a KUHP, sebagai `pasal amandemen` yang ditambahkan berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965, tentang Pencegahan, Penyalahgunaan atau Penodaan Agama, yang dikategorikan `Tindak Pidana terhadap Agama` ( offenses againts religion ), masih perlu disempurnakan karena perumusan normanya terlalu umum, dan bisa ditafsirkan secara sangat luas. Rumusan `permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan` dalam Pasal 156a KUHP bersifat kabur, karena itu harus diperbaiki perumusan normanya. Sedangkan kata `agama` dalam Pasal 156a adalah kata benda hukum yang niskala (abstrak), karena itu diperlukan rincian objek penghinaan agama, yaitu Tuhan, Rasul, Nabi, Kristus, Buddha, Avatara, atau tokoh-tokoh suci dari agama yang dianut di Indonesia, Kitab Suci, atau Ibadah Keagamaan, seperti yang dirumuskan di Massachussets (Statute 272 Section 36 MGL), Pakistan (Section 295-B dan 295-C PPL), dan Yunani (Article 198 dan 199 GPL). Karena itu, dalam rangka Perumusan Norma dan Sanksi Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam KUHP Nasional yang akan datang ( Ius Constituendum ), perlu reformulasi Pasal 156a KUHP menjadi 3 pasal, yaitu: (1) Tindak Pidana terhadap Agama secara umum (di beberapa negara disebut ` Outrage to Religious Feeling and Insult to Religion `), yang objeknya perasaan keagamaan, (2) Tindak Pidana terhadap Agama yang objeknya ditujukan langsung terhadap pokok-pokok ajaran agama (di beberapa negara disebut ` Blasphemy ` atau ` Godslastering `), yaitu penghinaan terhadap Tuhan atau pengha-sutan dengan maksud agar orang tidak bertuhan, dan (3) penghinaan terhadap Rasul, Nabi, Kristus, Buddha, Avatara, atau tokoh-tokoh suci dari agama yang dianut di Indonesia, Kitab Suci atau Ibadah Keagamaan. Selain itu, diperlukan satu pasal yang berisi tindak pidana penyiaran ( Verspreiding delict ) dari ketiga pasal sebelumnya yang memuat tindak pidana pokoknya ( Begunsiting Delict ) dengan sanksi lebih berat, yaitu ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok. Selanjutnya, meskipun dalam KUHP ada pasal-pasal yang dikategorikan `Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama` ( offenses related religion ) , yaitu Pasal 175-177 ayat (1) dan (2) dan 503 ke-2, namun belum diatur tindak pidana Perusakan Bangunan Tempat Ibadah. Padahal secara sosiologis, kejahatan ini dari tahun ke tahun terus meningkat di Indonesia. Di beberapa negara sudah diatur tindak pidana perusakan tempat-tempat ibadah dan benda-benda sarana ibadah, antara lain India (Section 295 IPC), Pakistan (Section 295 PPC), dan Israel (Article 170 IPL). Bahkan kriminalisaisi perbuatan merusak tempat ibadah berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri, terbukti telah diatur dalam Undang-undang Ādigama Majapahit (1401 M). Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan negara lain, Tindak Pidana terhadap Kehidupaan Beragama dalam KUHP tergolong sangat ringan sehingga tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berat atau ringannya sanksi yang diterapkan untuk Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama di beberapa negara, tidak dapat dilepaskan dengan filosofi yang melatarbelakangi perumusan tindak pidana tersebut di masing-masing negara. Pada umumnya negara yang manganut teokrasi, seperti Pakistan, menjatuhkan pidana yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara Barat. Mengenai Perusakan tempat ibadah, baik di Israel, India, maupun, diancam dengan pidana penjara, penjara atau denda atau keduanya, hanya di Majapahit yang tidak menerapkan pidana penjara, melainkan denda sebesar 24.000 pisis dan memberikan ganti rugi kerusakan akibat tindak pidana (Canto 55 Ādigama ). Untuk tindak pidana perusakan tempat Ibadah dan benda yang digunakan dalam beribadah, jenis sanksi ganti kerugian relevan diterapkan, khususnya ditinjau dari perspektif korban kejahatan. Dalam penelitian ini, diusulkan pemberatan sanksi apabila tindak pidana tersebut mengakibatkan matinya orang, dan apabila menimbulkan kerusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai beribadah sehingga tidak bisa dipakai lagi, maka dapat dijatuhkan pidana tambahan membayar ganti kerugian untuk memperbaiki kerusakan. Tetapi apabila pelaku benar-benar tidak mampu membayar ganti kerugian, maka korban mendapatkan kompensasi dari negara untuk perbaikan kerusakan. Kompensasi dari negara kepada korban tersebut merupakan konsekuensi dari tanggung jawab negara dalam melindungi segenap rakyatnya. Dengan demikian, sanksi yang diterapkan benar-benar memperhatikan kepentingan pelaku, kepentingan korban, maupun ketenteraman masyarakat.