Kebijakan Formulasi Tindak Pidana bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Mabuk
Main Author: | Suwarno |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2012
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160891/ |
Daftar Isi:
- Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, disatu sisi memberikan pengaruh positif terhadap segala aktivitas manusia, namun di sisi lain juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana, di antaranya penyalahgunaan minuman keras. Dewasa ini penyalahgunaan minuman keras, merupakan penyakit sosial yang ada di masyarakat yang mendorong penyebab terjadinya tindak pidana. Hal ini juga dapat memunculkan fenomena-fenomena di bidang sosial dan hukum. Selain itu tindak pidana tersebut di atas dapat merugikan diri sendiri, masyarakat dan Negara, baik materiil, moril, maupun spitrituil. Untuk mewujudkan kebijakan formulasi perumusan norma yang terkait dengan penyalahgunaan minuman keras, diperlukan teori dan penelitian secara mendalam dan memerlukan pengkajian berdasarkan teori dan perbandingan hukum, baik hukum pidana nasional dan perundang-undangan (hukum pidana) negara asing. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah perumusan norma tindak pidana penyalahgunaan minuman keras, dan pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk. Jenis-jenis saksi yang sesuai diterapkan terhadap tindak pidana bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk, di mana hal tersebut tidak terlepas dari penyalahgunaan minuman keras. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaharuan hukum pidana nasional dan memberi gambaran terhadap kebijakan formulasi tindak pidana bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, Untuk mencapai tujuan penelitian, digunakan pendekatan yuridis normatif yang dipadukan dengan pendekatan konseptual ( conceptual approach ), pendekatan historis ( historical approach ), pendekatan peraturan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan perbandingan ( consparative approach ). Bahan hukum primer meliputi UUD 1945, KUHP, Undang-undang Kesehatan, Undang-undang LLAJ, Kepres, Perda, norma Agama dan Hukum Adat. Selain itu sebagai bahan perbandingan juga dibutuhkan prundang-undangan Negara asing antara lain Amerika (New York, California, Canada), Malaysia dan Brunei Darussalam, dan beberapa ketentuan internasional. Bahan hukum skunder berupa penjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana terdapat dalam hukum primer, RUUKUHP, dan termasuk penjelasan instrument internasional yang mengatur tentang pengawasan dan peredaran alkohol. Bahan hukum tersier yang dibutuhkan adalah kamus hukum, kamus narkoba, kamus besar Indonesia, ensklopedi islam, jurnal ilmiah, dan makalah-makalah yang ada kaitanya dengan penyalahgunaan minuman keras. Bahan-bahan hukum primer, skunder, dan tersier diperoleh melalui media, electrolik, dan cyberspace (internet). Bahan hukum yang sudah diperoleh akan diklarifikasikan berdasarkan rumusan masalah ini, kemudian dianalisis dengan teknik analisis isi ( content analisys ). Dalam analisis tersebut peneliti menggunakan teknik berfikir induktif, deduktif, dan komparatif. Salah satu alasan perlunya pembaharuan kebijakan formulasi perumusan norma penyalahgunaan minuman keras adalah adanya beberapa kekurang sempurnaan atau kelemahan KUHP dalam menjangkau tindak pidana baru seiring dengan perkembangan teknologi, seperti perkembangan tindak pidana bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk, yang berdampak meningkatnya kecelakaan lalu lintas, dan telah banyak membawa korban meninggal di Jalan umum. Akhir dari penelitian dalam desertasi ini adalah kesimpulan berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan formulasi tindak pidana bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk, menunjukan bahwa dalam KUHP saat ini ternyata belum diatur. Di beberapa Negara, norma tentang larangan mengemudi dalam keadaan mabuk sudah diatur, antara lain : Amerika (New York, Canada, California), dan Maalaysia. Oleh karena itu saya usulkan norma tindak pidana bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk, dirumuskan sebagai norma (pasal) baru dalam KUHP yang akan datang. Adapun konsep yang diusulkan yaitu : dirumuskan dalam Pasal 502 ayat (1) Barangsiapa : mengemudikan kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk, di bawah pengaruh minuman keras, sehingga menyebabkan terganggunya mengemudikan kendaraan, dikenakan sanksi penjara maksimal 3 (tiga) tahun dan/atau denda maksimal Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); Pasal 502 ayat (2) Barangsiapa : dengan sengaja atau mengalami kelalaian dalam mengemudikan kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk, di bawah pengaruh minuman keras dapat di kenakan sanksi; Penjara maksimal 7 (tujuh) tahun dan/atau denda maksimal Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), jika perbuatanya tersebut menimbulkan kecelakaan lalulintas dan mengakibatkan luka berat; atau Penjara maksimal 9 (sembilan) tahun dan/atau denda maksimal Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), jika perbuatannya tersebut menimbulkan kecelakaan lalu lintas dan mengakibatkan matinya orang lain. Oleh karena itu norma tersebut di atas saya sarankan kepada pembuat kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya penanggulangan penyalah gunaan minuman keras khususnya tindak pidana bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk, hendaknya memperhatikan karakteristik mengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk sebagai tindak pidana. Upaya penanggulangan tindak pidana bagi pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk ini dapat berjalan secara efektif dengan sarana penal, apabila ada kerjasama dan harmonisasi dari pihak penegak hukum sebagai pembuat materi/substansi dari norma tindak pidana dan harmonisasi kebijakan harus segera di wujudkan.