Formulasi Kebijakan Eksekutif Penggunaan Upaya Paksa sebagai Bentuk Diskresi Kepolisian pada Tahap Penangkapan Tersangka Tindak Pidana Terorisme

Main Author: Prasetyo, Dedi
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2013
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160884/
Daftar Isi:
  • Tindakan penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka tindak pidana terorisme ditentukan oleh tingkat pemahaman tentang ketentuan hukum yang berlaku dan moralitas serta SOP (standar operasional prosedur) yang telah ditentukan untuk menegakkan keadilan. Wewenang yang diberikan tidak boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam diskresi pada tahap penangkapan adalah dengan melakukan penilaian apakah penggunaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan pemberi wewenang itu serta apakah penggunaan wewenang tersebut telah terjadi perbuatan sewenang-wenang ( abuse of power ), maka parameter yang dapat digunakan adalah asas rasionalitas. Sebagai pedoman atau dasar hukum bagi anggota Polri untuk melakukan tindakan diskresi Kepolisian sesuai tugas pokok dan wewenangnya tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu: (1) Untuk kepentingan umum, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri; (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, mempunyai wewenang sebagai berikut: (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud Ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Beberapa pasal-pasal dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tersebut masih terdapat yang dikategorikan multitafsir dan belum terukur secara jelas dimana penerapan di lapangan dapat menimbulkan abuse of power . Khusus penggunaan istilah menghentikan tersangka terdapat pada Pasal 1 angka 5, Pasal5 ayat (1) huruf f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) dan (3) yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindari berdasarkan situasi yang dihadapi untuk menghentikan tindakan tersangka. Istilah menghentikan juga terdapat dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, khususnya dalam Pasal 47 ayat (2) huruf e. Kata menghentikan menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti mengakhiri, menyudahi, membuat (menyebabkan) berhenti (henti artinya keadaan tanpa gerak). Istilah menghentikan yang terdapat di dalam Perkap tersebut dapat ditafsirkan oleh petugas Polri pada saat penggunaan senjata api guna menghadapi situasi yang dinilai membahayakan keselamatan petugas atau masyarakat disekitarnya maka petugas tersebut dapat langsung menembakan senjata apinya kepada tubuh tersangka agar betul-betul dihentikan atau dimatikan. Berbeda dengan aturan penggunaan senjata api di beberapa Negara atau aturan internasional lebih menggunakan kata melumpuhkan pelaku kejahatan. istilah melumpuhkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti menyebabkan lumpuh (tidak bertenaga), tidak dapat berjalan, berfungsi lagi, kata tersebut ditafsirkan oleh petugas polisi menembak untuk melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah atau sasaran kaki pelaku kejahatan. Dalam praktek penegakan hukum terkait dengan tindakan penangkapan terorisme telah terjadi penyalahgunaan wewenang apabila tidak didasari asas rasionalitas dan tingkat pemahaman serta penerapan norma hukum yang benar kesemuanya akan berpengaruh dalam proses penegakkan hukum yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara moralitas dan akuntabel. Pemberian wewenang diskresi Kepolisian pada tahap penangkapan tersangka tindak pidana terorisme disesuaikan dengan tingkat ancaman dari pelaku terorisme itu sendiri, namun dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada penilaian subyketif pihak Kepolisian. Dalam pengawasan wewenang diskresi tersebut, pelaksanaan penangkapan tersangka tindak pidana terorisme atas dasar peraturan perundang-undang dan wewenang diskresi dimungkinkan dilakukan secara vertikal, dengan cara pengawasan dari satuan atas terhadap satuan yang lebih rendah, secara struktural dan fungsional, maupun secara horisontal oleh lembaga lain dan atau masyarakat melalui Pra Peradilan atau gugatan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) diskresi kepolisian. Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme harus dibarengi dengan adanya formulasi kebijakan eksekutif sebagai Prosedur Tetap (Protap) yang jelas, tegas dan terukur agar setiap penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian khususnya senjata api oleh aparat penegak hukum khususnya Densus 88 Polri dapat dipertanggungjawabkan tetap berpedoman pada Hak Asasi Manusia, Code of Conduct for Law Enforcement Officials dan Basic Principles on the Use of Force and Firearms by law Enforcement Officials , dengan menghilangkan istilah menghentikan dalam penggunaan senjata api dan diganti istilah melumpuhkan dan memberikan variabel yang jelas tentang istilah mengancam keselamatan jiwa (norma terbuka harus dihindari guna tidak menimbulkan multi tafsir), harus menerapkan asas ` Lex Certa `: rumusanya harus pasti ( certainty ); jelas ( corcise ) dan tidak membingungkan ( unambagious ).