Perlindungan Hukum untuk Pekerja Perempuan dalam Hubungan Industrial
Main Author: | Aschar, Saeful |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2011
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160877/ |
Daftar Isi:
- Secara filsafati pekerja perempuan belum mendapatkan perlindungan hukum secara layak dan bermartabat sesuai dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pekerja perempuan perlu memperoleh jaminan perlindungan hukum secara khusus terhadap fungsi reproduksinya. Ideologi gender memberikan ciri-ciri tersendiri antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Pekerja laki-laki selalu dicirikan kuat, berani, rasional, dan berkuasa. Sedangkan pekerja perempuan dicirikan dengan lemah-lembut, penakut, emosional, dan selalu melayani. Stereotipe di masyarakat menunjukkan bahwa pekerja perempuan membantu suami mencari nafkah. Pekerja perempuan dianggap sebagai lajang (belum kawin) walaupun pekerja perempuan tersebut telah kawin (menikah). Kondisi seperti ini menyebabkan pekerja perempuan dimanfaatkan oleh pengusaha dengan dibayar upah murah jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Perbedaan ini dapat menimbulkan ketidakadilan sosial di tempat kerja dalam hubungan kerja. Fungsi reproduksi dan peran pekerja perempuan berbeda dengan pekerja laki-laki. Peran pekerja perempuan bersifat ganda yaitu: 1) sebagai isteri yang melayani suami; 2) membantu mencari nafkah; dan 3) melahirkan anak. Anak merupakan amanat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, anak harus dijaga, dibimbing, diarahkan dan dihormati agar anak kelak dapat berkembang, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pekerja anak perempuan dan pekerja perempuan dewasa berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan ketidakadilan sosial, kekerasan, pelecehan seksual, dan tindakan diskriminasi baik dari rekan kerja, atasan, dan dari pengusaha itu sendiri. Pekerja perempuan perlu memperoleh pekerjaan secara adil, layak dan sejahtera dalam hubungan kerja, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 38 ayat (1) serta Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang dinyatakan secara tegas bahwa pekerja perempuan berhak memperoleh perlindungan hukum secara khusus menyangkut keselamatan dan kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksinya. Hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha dapat melahirkan perjanjian kerja. Perjanjian kerja bagi para pihak dapat terpenuhi apabila memenuhi syarat-syarat kerja yaitu: a) adanya pekerjaan; b) adanya upah; dan c) adanya perintah. Hubungan industrial akan terbentuk secara luas jika terdapat unsur-unsurnya yaitu: a) adanya pekerja; b) pengusaha; c) pemerintah; dan d) masyarakat. Terciptanya hubungan kerja yang harmonis dan kondusif dapat menciptakan hubungan Industrial sebagai wujud tujuan pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Disertasi ini merupakan karya ilmiah bertujuan untuk menganalisis dan menemukan isu hukum yaitu: bagaimana perwujudan asas-asas hukum yang dituangkan dalam norma hukum pada sejumlah peraturan perundang-undangan yaitu: 1) Asas keterpaduan; 2) Asas persamaan hak; 3) Asas demokrasi; 4) Asas keadilan sosial; 5) Asas kesetaraan dan keadilan gender; dan 6) Asas non-diskriminasi ke dalam Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan berkaitan dengan perlindungan hukum untuk pekerja perempuan dalam Hubungan Industrial. Asas-asas hukum tersebut di atas, kemudian dilakukan pengujian (toetsen) terhadap Pancasila, konstitusi, beberapa konvensi ILO dan sejumlah Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan. Selanjutnya sebagai pisau analisisnya dalam menjawab dan menganalisis isu hukum ini, maka digunakan teori-teori hukum yaitu: 1) Teori negara hukum kesejahteraan dengan pendekatan teori negara hukum Pancasila; 2) Teori Hak Asasi Manusia dengan pendekatan teori hukum alam; dan 3) Teori keadilan dan gender dengan pendekatan teori keadilan formal John Rawls dan teori hukum feminis (feminist legal theory). Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai hukum ketenagakerjaan dari perspektif Hukum Tata Negara. Secara praktis dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pembentuk Undang-undang melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan pemerintah dalam rangka pembaharuan hukum (legal reform) di bidang ketenagakerjaan. Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal yang mengkaji mengenai bahan-bahan hukum yaitu: 1) Bahan hukum primer; 2) Bahan hukum sekunder; dan 3) Bahan hukum tersier. Pendekatan yang digunakan yaitu: a) Peraturan perundang-undangan (statute approach); b) Pendekatan historis (historical approach); c) Pendekatan teoritik (theoretical); d) Pendekatan konseptual (conceptual approach); dan e) Pendekatan teori hukum feminis (feminist legal theory). Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yaitu: bahan hukum dicatat dengan menggunakan sistem kartu (card system). Teknik analisis bahan hukum yaitu: a) bahan hukum yang terkumpul; b) kemudian dikategorikan; c) dikelompokkan; d) disusun secara sistematis; dan e) kemudian dianalisis. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian asas-asas hukum terwujud dan sebagian tidak terwujud ke dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adapun asas-asas hukum yang terwujud yaitu: 1) asas demokrasi; 2) asas persamaan hak; 3) asas keadilan sosial; 4) asas kesetaraan dan keadilan gender. Sementara asas-asas hukum yang tidak terwujud yaitu: 1) asas keterpaduan; dan 2) asas non-diskriminasi. Akibat tidak taat terhadap asas-asas hukum (rechts beginselen) berakibat hukum terjadinya pertentangan norma (conflict of norm) dan kekaburan norma (vague norm). Pasal 76 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 76 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam frase atau kata `menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja` menimbulkan kekaburan norma. Oleh karena itu, dalam rancangan pembentukan peraturan perundangundangan perlu dipersiapkan terlebih dahulu naskah akademik (academic draft) sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 96 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari hasil penelitian tersebut diberikan rekomendasi atau saran yaitu: 1) Pembentuk undang-undang melalui Dewan Perwaki