Perpanjangan Hak Guna Bangunan oleh Perseroan Terbatas Menuju Investasi yang Berkelanjutan dan Menyejahterakan Rakyat (Kajian terhadap Kepastian Hukum dan Keadilan)
Main Author: | Puspadma, INyomanAlit |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160867/ |
Daftar Isi:
- Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah karena adanya norma kabur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA jo Pasal 25 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk membahas dua permasalahan, yaitu: 1) Bagaimanakah pengaturan perpanjangan HGB dan figur hukum dalam hal terjadi persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan HGB oleh PT dan akibat hukumnya jika ditolak?; dan 2) Bagaimana perpanjangan HGB dapat memberikan kepastian hukum dan keadian bagi PT menuju investasi berkelanjutan dan menyejahterakan rakyat? Teori yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap kedua permasalahan tersebut adalah: teori Kewenangan, teori Penjenjangan Norma (Stuffen Theory), teori Keadilan, teori Kepastian Hukum, dan teori Negara Kesejahteraan. Sebagai penelitian hukum normatif, maka sumber bahan hukum penelitian ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dengan berbagai pendekatan, yaitu: Perundang-undangan (Statute Approach), Kasus (Case Approach), Konsep (Conseptual Approach), dan Analitis (Analytich Approach), selanjutnya dianallisis dengan metode Interpretasi hukum agar dapat menemukan norma yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan berbagai metode interpretasi/penafsiran, yaitu gramatikal, sistematikal, dan sosiologikal. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap kedua permasalahan dalam disertasi ini, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, -perpanjangan HGB di atas tanah Negara diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA jo Pasal 26 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999, sedangkan perpanjangan HGB di atas tanah HPL diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA jo Pasal 26 ayat (2) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 45 PMNA/KBPN 9 tahun 1999. HGB di atas tanah Hak Milik tidak diatur untuk perpanjangan, akan tetapi sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (2) PP 40 tahun 1996 dapat diperbaharui berdasarkan persetujuan antara pemegang hak Milik dan pemegang HGB dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT, selanjutnya didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat.-Figur hukum perpanjangan HGB di atas tanah Negara dan tanah HPL berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam bentuk Surat Keputusan Pemberian Perpanjangan HGB (hukum publik), sedangkan figur hukum pembaharuan HGB di atas tanah hak Milik berupa Perjanjian (hukum privat), selanjutnya didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk mendapatkan sertipikat HGB (sertipikat merupakan KTUN/hukum publik). -Dasar kewenangan pejabat BPN dalam mengabulkan atau menolak perpanjangan HGB atas tanah Negara dan HPL adalah Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional yang telah diubah dengan Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Kewenangan KBPN tersebut sebagian didelegasikan kepada Kakanwil BPN Provinsi dan Kakantah Kabupaten/Kota berdasarkan PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Perkaban No. 1 Tahun 2011 dan diubah lagi dengan Perkaban No. 3 Tahun 2012. -Alasan pejabat yang berwenang dalam mengabulkan atau menolak perpajangan HGB atas tanah Negara atau HPL adalah sebagai berikut: Dikabulkan, apabila: adanya permohonan dari pemegang HGB, pemohon masih berbentuk PT yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, tanahnya masih digunakan untuk usaha dan tidak melanggar RTRW, investasi yang dilakukan masih berjalan dengan baik, bangunannya masih dapat digunakan dengan layak dan aman sesuai denga persyaratan yang diatur dalam UU Bangunan, tanahnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan investasi yang dilakukan menyerap tenaga kerja. Ditolak apabila: tanahnya digunakan untuk kepentingan umum, atau syarat pengabulan tidak terpenuhi. Khusus untuk HPL dalam perpanjangannya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemegang HPL. -Akibat hukum bagi PT apabila permohonan perpanjangan HGB ditolak adalah sebagai berikut: HGB berakhir karena jangka waktu haknya telah berakhir, tanahnya kembali kepada Negara apabila berasal dari tanah Negara atau pemegang HPL apabila tanahnya berasal dar HPL, PT tidak lagi dapat menggunakan tanah tersebut sebagai tempat usaha. Karena PT tidak dapat melanjutkan usahanya, maka timbul akibat hukum lainnya, yaitu: pembubaran PT, dan PHK para karyawannya. Dari akibat hukum ini akan timbul akibat lainnya, yaitu: Akibat Ekonomi: berkurangnya penggerak sektor riil, berkurangnya peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, berkurangnya peningkatan kesejahteraan rakyat, memutus peningkatan ekonomi berkelanjutan dan tidak tercapai asas ekonomi berkelanjutan. Akibat Sosial: hilangnya kesempatan kerja, hilangnya penghasilan sebagian masyarakat, hilangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari sebagian masyarakat dan dapat menimbulkan kemiskinan. -Makna ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA jo Pasal 25 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999 bila dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan berkelanjutan menuju investasi yang menyejahterakan rakyat adalah dikaitkan dengan tujuan penguasaan tanah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu penguasaan tanah hanya memiliki satu tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPM mengenai asas penanaman modal, antara lain kepastian hukum, efisiensi berkeadilan dan berkelanjutan, juga ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPM mengenai tujuan penanaman modal, antara lain mencitakan lapangan kerja dan meningkatan kesejahteraan masyarakat, yang bersumber pada Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945, alenia keempat UUD 1945, dan Sila Kelima Pancasila, yang merupakan hak asasi setiap orang, yaitu hak untuk berusaha/bekerja dan hak untuk hidup, sehingga investor yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia adalah Investor yang Menyejahterakan Rakyat. Kedua, perpanjangan HGB yang diatur sekarang ini belum dapat menjamin kepastian hukum, keadilan, dan investasi berkelanjutan, karena Pemerintah diberikan kebebasan menafsirkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA, seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Walikota Denpasar No. 030/0137/PAD tanggal 3 Januari 2012. Dengan kondisi seperti itu PT telah dirugikan, karena investasi yang telah dilakukannya tidak dapat dilanjutkan sehingga tidak memberikan keadilan. Karena PT tidak dapat melanjutkan investasinya, maka investasi berkelanjutan tidak terlaksana, sehingga tujuan investasi berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak tercapai. Bertolak dari kesimpulan tersebut di atas, saran yang dapat diberikan adalah: 1) a. Kepada KBPN: tujuan pemberian hak atas tanah adalah untuk kesejahteraan rakyat, jadi apabila hak atas tanah yang telah diberikan masih memenuh