Perlindungan Hukum terhadap Petani Tebu dalam Perspektif Negara Kesejahteraan di Era Otonomi Daerah

Main Author: Winardi
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2013
Subjects:
tax
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160862/
Daftar Isi:
  • Penelitian Disertasi ini bertujuan (1) Menemukan dan menganalisis perlindungan hukum petani tebu sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan orde baru ditinjau dari perspektif negara kesejahteraan; (2) Menemukan dan menganalisis aspek-aspek optimalisasi perlindungan hukum petani di era otonomi daerah; (3) Menemukan dan menganalisis arah perlindungan hukum yang akan datang terhadap petani dilihat dari perspektif negara kesejahteraan. Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif dan mendalam, penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian yuridis normatif (doktrinal) dengan pendekatan filsafati, pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan komparatif. Dalam penelitian ini digunakan teori Negara Kesejahteraan sebagai teori utama ( grand theory ) kemudian teori Hukum Pembangunan dan teori Utilitarian sebagai teori tengah ( middle range theory ) , dan teori Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta teori Hak Asasi Manusia sebagai teori terapan ( applied theory ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap petani tebu sejak sebelum kemerdekaan sampai orde baru terus mengalami degradasi. Petani tebu dari masa ke masa tidak pernah merasakan `manisnya` tebu secara maksimal. Jika sebelum kemerdekaan petani dipaksa menanam tebu untuk memenuhi kepentingan akumulasi capital Kolonial, setelah kemerdekaan berdasar Perpu no. 38/1960 kewenangan sentralistik kepada Menteri Agraria, kemudian orde baru berdasar Inpres no. 9/1975 petani menanam tebu karena terpaksa dan tidak partisipatif. Setelah kebijakan Otonomi Daerah diimplementasikan, perlindungan hukum terhadap petani belum tebu juga belum dapat mengangkat kesejahteraan petani. Ada beberapa aspek yang memengaruhi, yakni : Pertama, peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya berpihak kepada petani dan belum adanya sinkronisasi, bahkan terjadi inkonsistensi dan disharmonisasi beberapa peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum petani tebu; Kedua, kelembagaan petani yang belum terorganisir dengan baik, sehingga posisi tawar petani sangat lemah ketika berhadapan dengan kekuatan eksternal, baik pemerintah maupun pemilik modal; Ketiga, ketersediaan lahan untuk kegiatan pertanian tebu terus mengalami penyempitan, luas kepemilikan lahan pertanian terus berkurang di tengah fenomena ekonomi makro. Rekomendasi yang dapat dikemukakan adalah : Pertama, perlindungan hukum terhadap petani hendaknya tetap mengacu Pasal 33 UUDNRI 1945 yang mengamanatkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan sebagaimana makna bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Filosofi pembangunan pertanian harus diarahkan untuk mewujudkan perlindungan dan pemberdayaan petani yang merupakan bagian dari upaya melindungi, mencerdaskan kehidupan petani dalam rangka meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan petani. Kedua, secara yuridis perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut perlindungan hukum terhadap petani yang masih parsial dan belum terintegrasi antara satu dengan yang lain; ketiga, peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum terhadap petani yang akan datang hendaknya mampu menjamin (a) hak petani atas sumber daya, modal dan sarana produksi; (b) hak atas teknologi benih, pupuk dan proteksi tanaman; (c) hak atas penanganan pasca panen dan harga; (d) hak atas pemasaran hasil pertanian dan; keempat, organisasi petani yang independ