Kebijakan Formulasi Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Perikanan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Main Author: Hehanussa, DeassyJacominaA
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2013
Subjects:
tax
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160856/
Daftar Isi:
  • Kekayaan sumber daya alam kelautan yang melimpah dan posisi geografis perairan Indonesia yang strategis, serta tingginya intensitas roda perekonomian memungkinkan timbulnya beragam tindak kejahatan di yurisdiksi nasional Indonesia, misalnya penangkapan ikan secara illegal (illegal Fishing). Praktek penyidikan tindak pidana perikanan sesuai Pasal 73 UU No. 31 tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL dan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut memberikan kewenangan yang sama dalam penegakan hukum perikanan. Ketiga instansi dimaksud menyatakan sama-sama berwenang dalam penegakan hukum perikanan tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merupakan model sistem peradilan pidana Indonesia yang mengatur Polisi sebagai penyidik utama disamping Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik lainnya. Dalam pelaksanaan penyidikan, Polisi merupakan koordinator dan pengawas (KORWAS) bagi PPNS. Itu berarti dalam proses dimulainya penyidikan dan penyerahan Berita Acara Penyidikan kepada Penuntut Umum harus melalui Polisi. Inkonsistensi pengaturan UU N0. 45 Tahun 2009 dalam konteks penyidikan menimbulkan konflik norma dengan KUHAP sebagai UU payung dimana penyidik tindak pidana perikanan memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum tanpa melalui polisi. Ketiadaan koordinasi dan kesatuan sistem berdampak pada proses penegakan hukum perikanan. Akibatnya, muncul permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut: 1) Apa yang melatarbelakangi pengaturan kewenangan penyidikan tindak pidana perikanan menurut UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan? 2) Bagaimana koordinasi dan pengawasan terkait formulasi kewenangan penyidikan tindak pidana perikanan dalam sistem peradilan pidana Indonesia? 3) Bagaimana konsep formulasi kewenangan penyidikan tindak pidana dibidang perikanan dalam sistem peradilan pidana Indonesia dimasa depan? Sebagai sebuah penelitian hukum, penelitian disertasi ini menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Sementara analisis terhadap hasil penelitian digunakan teori negara hukum, teori kewenangan, teori sistem peradilan pidana, teori kebijakan hukum pidana dan teori pengawasan. Hasil penelitian disertasi ini berkesimpulan bahwa pengaturan kewenangan penyidikan tindak pidana perikanan dalam UU No. 45 Tahun 2009 merupakan kewenangan atribusi, artinya kewenangan yang diberikan oleh UU. Terkait kewenangan penyidikan tindak pidana dibidang perikanan sebenarnya merupakan bagian tugas dan fungsi penegakan hukum yang dilakukan penyidik Pejabat TNI AL, PPNS Perikanan dan Pejabat Kepolisian RI sebagai wujud dari kewenangan atribusi. Luasnya laut Indonesia menjadi bertambah dengan diratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985 menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat untuk melakukan pemanfaatan potensi kelautan yang cukup besar. Selain pranata-pranata yang telah diatur dalam hukum laut yang merupakan bagian dari negara seperti laut territorial, masih ada lagi pranata-pranata hukum laut lainnya yang menyatakan bahwa negara pantai tidak memiliki kedaulatan tetapi hanya memiliki kekuasaan-kekuasaan atau yurisdiksi-yurisdiksi tertentu dan bersifat terbatas. Hal ini dikarenakan, pranata hukum laut ini bukan merupakan wilayah negara. Pranata-pranata hukum laut itu adalah zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif. Dalam Konteks sistem peradilan pidana terjadi konflik pengaturan kewenangan penyidikan yang dapat merusak sistem peradilan pidana sekaligus menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Pengawasan yang dimaksud UU Perikanan hanya ditujukan dalam konteks pengawasan perikanan terkait pengelolaan perikanan dan tidak termasuk pengawasan kelembagaan terutama dibidang penyidikan. Hal ini dipandang perlu dilakukan dan dipertegas mengingat kewenangan penyidikan yang diberikan UU Perikanan dapat mengakibatkan penyalahgunaan kewenangan oleh instansi penyidik tersebut. Formulasi kewenangan penyidikan tindak pidana perikanan sebagaimana dituangkan dalam UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan, masih menimbulkan persoalan (konflik norma) dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai model sistem peradilan pidana Indonesia. Hal ini disebabkan norma yang mengatur tentang penyidikan haruslah berpatokan pada norma induk dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP, dimana Polisi sebagai penyidik utama melaksanakan fungsi koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS. Kenyataannya terjadi inkonsistensi norma dalam UU Perikanan yang mengakibatkan konflik norma, dimana penyidik tindak pidana perikanan mempunyai kedudukan yang sama. Dalam konteks sistem peradilan pidana formulasi demikian mengakibatkan rusaknya sistem. Oleh karena itu perlu diformulasikan kembali kewenangan penyidikan tindak pidana perikanan dengan mengembalikan pada sistem yang dianut dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.