Kebijakan Formulasi terhadap Tindak Pidana Desersi yang Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
Main Author: | Susiani |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2012
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160852/ |
Daftar Isi:
- Penelitian ini diawali dengan adanya kekhawatiran karena banyaknya prajurit TNI (Tentara Nasional Indonesia) khususnya TNI AD yang melakukan tindak pidana desersi, sehingga mendapat stigma sebagai deserter (pelaku desersi). Di Indonesia, TNI mempunyai tugas untuk mempertahankan, melindungi, memelihara keutuhan dan menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Dalam kenyataan pelaksaan tugas pokok TNI seringkali diwarnai berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI yang akhirnya berujung pada tindak pidana desersi, yang diatur dalam Pasal 87 ayat (1) ke 2 KUHPM. Apabila ditelusuri pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit tersebut bukan merupakan desersi, karena hanya mendasarkan pada rumusan desersi sebagai peningkatan dari kejahatan THTI, dimana prajurit yang melakukan THTI dalam waktu damai lebih dari 30 hari dan dalam waktu perang lebih dari 4 hari, dikategorikan sebagai tindak pidana desersi. Rumusan desersi yang demikian menjadi penyebab banyaknya stigma deserter bagi prajurit TNI khususnya TNI AD. Perumusan norma dan sanksi tindak pidana desersi dan kejahatan THTI di KUHPM menjadi penyebab desersi semakin banyak. Demikian juga THTI rumusan kejahatan THTI dalam Pasal 85 dan 86 KUHPM tidak memungkinkan pelaku desersi meskipun 1 hari untuk diselesaikan secara Hukum Disiplin Pajurit. Rumusan tindak pidana desersi dan kejahatan THTI yang demikian belum mencerminkan rasa keadilan, karena prajurit yang tidak desersi dikenakan pasal desersi sehingga dicap/diberi stigma deserter. Sedangkan prajurit pelaku THTI meski hanya 1 hari tetap sebagai pelaku kejahatan THTI. Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah : Pertama, bagaimanakah perumusan norma tindak pidana desersi dan norma kejahatan THTI sesuai dengan hakekat dan filosofis desersi sebagai kejahatanyang berat dan serius. Kedua, bagaimanakah perumusan sanksi tindak pidana desersi dan sanksi kejahatan THTI dalam rangka pembaharuan KUHPM yang akan dating. Ketiga, apakah jenis sanksi tindak pidana desersi, berdasarkan perbuatannya. Tujuan penelitian dalam disertasi ini adalah : 1) menemukan, membahas, dan menganalisis perumusan norma tindak pidana desersi dan kejahatan THTI, 2) menemukan, membahas, dan menganalisis perumusan sanksi tindak pidana desersi dan kejahatan THTI, dan 3) mengkaji dan menganalisis jenis sanksi tindak pidana desersi berdasarkan gradasi perbuatannya. Kerangka dasar teoritis meliputi : teori tentang HAM dan teori keadilan, teori pembentukan hukum, teori tujuan pidana, teori kebijakan pidana. Sedangkan kerangka konsep penelitian dalam disertasi ini meliputi pengertian kebijakan formulasi terhadap tindak pidana desersi di KUHPM. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder berupa bahan hukum di perpustakaan, dan mengkaji kasus-kasus tindak pidana desersi baik yang dilakukan oleh prajurit TNI, maupun militer Amerika Serikat untuk selanjutnya diperbandingkan. Sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan filsafat hukum dan pendekatan perbandingan hukum. Berdasarkan Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : Pada dasarnya perumusan norma dan sanksi tindak pidana desersi dan kejahatan THTI dibagi dua yaitu perumusan norma dan sanksi tindak pidana desersi dan kejahatan THTI yang diatur dan dirumuskan dalam peraturan di Indonesia (KUHPM dan RUU KUHPM) dan yang diatur di Negara lain, dalam hal ini adalah Amerika Serikat (UCMJ), Malaysia (Laws of Malaysia Act 77/Armed Forces Act 1972) dan Singapura (SAF Act). Di KUHPM norma dan sanksi tindak pidana desersi yang diatur dalam Pasal 87 mengatur dua bentuk desersi yaitu desersi murni dan desersi sebagai peningkatan dari kejahatan THTI, yang unsur subyektifnya berupa kesalahan dirumuskan dengan karena kesalahannya atau dengan sengaja sedangkan unsur obyektifnya yaitu meninggalkan kewajiban dinas dalam waktu damai lebih dari 30 hari dan dalam waktu perang lebih dari 4 hari. Rumusan yang demikian menyebabkan banyak prajurit khususnya TNI AD yang diberi stigma deserter, walaupun bila ditelusuri bukan melakukan tindak pidana desersi. Di Amerika Serikat, pengenaan pasal desersi didasarkan pada substansi perbuatan militer yang pergi tanpa ijin untuk meninggalkan dinas dan tidak ingin kembali lagi, yang diatur dalam Pasal 85 sedangkan THTI diatur dalam Pasal 86 UCMJ. Di Malaysia desersi diatur dalam Pasal 54 Laws of Malaysia Act 77 (Armed Forces Act 1972) yang mengatur Setiap Perwira dari badan AB Malaysia yang THTI selama 21 hari terus menerus dan tidak berniat kembali dinas.Sedangkan Singapura desersi diatur dalam Pasal 23 SAF Act, yang mengatur siapa saja yang berada dibawah UU militer yang meninggalkan atau gagal berada di tempat tugasnya, atau THTI untuk menghindari tugas militer tertentu di depan musuh. Hasil studi penelitian dokumen tentang putusan Hakim Militer yang menangani kasus desersi membuktikan bahwa banyak Hakim Militer Indonsia yang memutus kasus desersi dengan putusan yang ringan, hal ini tidak sesusai dengan hakekat desersi sebagai kejahatan militer yang berat. Apabila ditelusuri kasus tersebut sebenarnya bukan kasus desersi, karena tindakan yang mereka lakukan bukan untuk meninggalkan kewajiban dinas selama-lamanya, namun karena masalah keluarga, ekonomi dsb, yang seharusnya lebih tepat bila dikenakan pasal THTI. Dalam KUHPM diatur hakekat desersi ada 2 (dua) yaitu militer yang pergi dengan maksud untuk meninggalkan kewajiban dinas selama-lamanya (desersi murni), dan militer yang karena salahnya atau dengan sengaja meninggalkan kewajiban dinas dalam waktu damai selama lebih dari 30 hari dan dalam waktu perang lebih lama dari 4 hari (desersi sebagai peningkatan dari THTI). Sedangkan dalam UCMJ, Laws of Malaysia Act 77 (Armed Fo