Rekonseptualisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Main Author: | Ardilafiza |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2012
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160849/ |
Daftar Isi:
- Dilatarbelakangi oleh benturan nilai antara bentuk negara persatuan/federasi dengan bentuk negara kesatuan yang telah berlangsung jauh sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi ternyata semangat kebangsaan mampu mereduksi semua perbedaan menjadi suatu kesadaran akan pentingnya negara sehingga terbentuknya NKRI. Problematika filosofis tersebut berlanjut pada inskonsistensi teoritis dan yuridis, yaitu konflik horizontal dalam perumusan UUD 1945 hasil perubahan tahun 1999-2002 yaitu konflik antara bentuk negara kesatuan sebagaimana dimaksud Pasal 1 Ayat (1) dengan keinginan untuk mempertahankan pluralisme bangsa yang ada pada Pasal 18, 18A dan 18 B. Di samping itu terdapat kekaburan makna otonomi yang ada dalam UUD 1945 baik sebelum maupun setelah perubahan, yang mengakibatkan tidak konsistennya pilihan otonomi yang dianut dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dilain pihak banyak upaya hukum untuk menguji materi undang-udang tentang pemerintahan daerah pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan cerminan sulitnya memahami konstruksi NKRI dikaitkan dengan otonomi daerah. Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang diteliti adalah pertama; bagaimanakah konstruksi yuridis (Konstitusional) NKRI berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?. Kedua; Apakah konsep tentang pengaturan penyerahan urusan pemerintahan secara vertikal (desentralisiasi) berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah sesuai dengan asas otonomi seluas-luasnya sebagaimana dimaksud Pasal 18 (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?, dan ketiga; bagaimanakah rekonseptualisasi negara kesatuan Republik Indonesia yang ideal dimasa depan? Metode penelitian yang digunakan untuk mengurai masalah tersebut adalah yuridis normatif dengan pendekatan filosofis, yuridis, historis, komparatif dan koseptual dengan menggunakan kerangka teori sebagai pisau analisis yaitu teori kedaulatan dan bentuk negara, pembagian kekuasaan dan desentralisasi (otonomi). Analisis penelitian terhadap masalah pertama ditemukan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan kepastian bentuk negara yang dianut Indonesia, karena terdapat konflik horizontal yang sangat substasial antara bentuk negara kesatuan yang dijamin dalam Pasal 1 (1) dan bentuk negara federal yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa hal pokok yang ditemukan dalam konstruksi UUD 1945 berikut: (1) Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 memberikan karakter bentuk negara federal dalan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena dengan dibaginya NKRI ke dalam daerah Provinsi dan daerah Kabupaten, maka terjadi pergeseran cara pandang terhadap negara. Batas daerah yang selama ini dijadikan batas administratif berubah menjadi batas wilayah, sehingga sengketa perbatasan antara daerah tidak dapat dihindarkan. (2) Kekuasaan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) UUD 1945 adalah abstrak karena tidak punya urusan, karena berdasarkan Pasal 18 (5) UUD 1945 seluruh urusan ada pada daerah provinsi, kabupaten dan kota. (3) Otonomi seluas-luasnya yang dianut UUD 1945 mempunyai pengertian kualitatif dan kuantitatif, yaitu kebebasan berprakarsa atau inisiatif sendiri untuk mengatur dan mengurus segala hal yang berkaitan dengan kepentingan rakyat daerah masing-masing terhadap seluruh urusan pemerintahan kecuali yang ditentukan undang-undang menjadi urusan pemerintahan pusat. (4) Otonomi yang dianut oleh seluruh susunan pemerintahan daerah menurut UUD 1945 yaitu Provinsi, Kabupapaten, Daerah Istimewa dan daerah khusus serta masyarakat hukum adat (desa) adalah otonomi yang datang dari bawah, dan bukan otonomi yang lahir karena adanya penyerahan urusan dan wewenang dari pemerintah pusat. Sehingga UUD 1945 tidak menempatkan desentralisasi sebagai instrumen untuk membagi urusan dan wewenang kedaerah, karena seluruh urusan pemerintahan ada didaerah. UUD 1945 hanya mengenal proses resentralisasi yaitu menarik urusan dari daerah kepusat dengan undang-undang. (5) Pola pengaturan pemerintahan daerah menurut UUD 1945 harus diawali dengan undang-undang tentang urusan pemerintahan pusat sebagai undang-undang yang mempunyai kedudukan paling sentral untuk menentukan batasan kewenangan pemerintah pusat yang akan diatur pada undang-undang yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Analisis terhadap masalah kedua memperlihatkan bahwa pembentuk undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum/tidak memahami tuntutan UUD 1945 sehingga pengaturannya bertentangan dengan UUD 1945 yaitu: (1) Adanya upaya mengubah otonomi seluas-luasnya menjadi otonomi materiil dengan melakukan pembagian urusan ke daerah yang bertentangan dengan Pasal 18 (5) UUD 1945. (2) Terdapat upaya penyeragaman pengaturan bagi semua daerah yang bertentangan dengan prinsip negara kesatuan yang plural. (3) Menempatkan Gubernur sebagai pelaksana urusan yang diserahkan melalui dekonsentrasi bertentangan dengan Pasal 18 (2) UUD 1945. (4) Pengaturan Pasal 10 UU Nomor 32 tentang pemerintahan Daerah semakin memperburuk eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rekonseptualisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan dengan cara perubahan UUD 1945 atau dengan melakukan perubahan dan penyesuaian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan tuntutan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 adalah upaya mengembalikan karakteristik negara kesatuan yang hilang sebagai akibat perubahan terdahulu. Untuk menjamin pluralisme daerah, maka fungsi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam bidang legislasi harus sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sebagai rekomendasi untuk menjamin konstitusionalitas pelaksanaan pemerintahan daerah, dan menjaga harmonisasi peraturan perundang-undangan maka perlu mempertimbangkan kedudukan UU Pokok (UU tentang Urusan Pemerintahan) dengan menempatkannya pada hirarki di atas undang-undang biasa.