Hak Aborsi Korban Perkosaan dalam Perspektif Pembaruan Hukum Pidana Indonesia

Main Author: Navianto, Ismail
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2012
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160843/
Daftar Isi:
  • Kehamilan adalah suatu proses alamiah yang terjadi sebagai akibat bertemunya sperma dan ovum atau dibuahinya sel telur oleh sperma. Kebebasan merencanakan kehamilan untuk meneruskan keturunan adalah merupakan hak bagi perempuan. Disebutkan dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 bahwa `setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah`, selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan `perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan`. Dua pernyataan tersebut merupakan dasar perlindungan hukum terhadap perempuan dalam melanjutkan keturunannya, karena itu kehamilan yang timbul sesuai dengan harapan akan menghadirkan kebahagiaan tersendiri bagi perempuan. Namun sebaliknya akan menjadikan tragedi bagi seorang perempuan manakala kehamilannya itu akibat dari pemerkosaan. Kehamilan yang demikian akan menimbulkan penderitaan korban baik fisik, psikis , maupun seksual. Jalan keluar yang ditempuh biasanya dengan melakukan aborsi. Mengenai aborsi, dalam bentuknya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : aborsi spontan/alamiah, aborsi buatan/sengaja dan aborsi terapeutik/medik. Diantara ketiga jenis aborsi ini yang paling menimbulkan perdebatan ialah aborsi buatan/sengaja atau juga disebut abortus provocatus criminalis. Dalam pengaturan bentuk aborsi ini, banyak negara memberikan aturan yang berbeda dalam penerapannya. Indonesia termasuk negara yang mengizinkan praktik aborsi dengan syarat, yang mana sebelumnya hukum Indonesia melarang keras aborsi baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa perkecualian. Namun semenjak UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan diterbitkan, sebagaimana diatur dalam pasal 75 ayat (1) Undang-undang ini, menyebutkan `setiap orang dilarang melakukan aborsi` kecuali karena; dalam Pasal 75 ayat (2)b disebutkan `kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan`. Dalam rumusan Pasal 75 ayat (2)b UU Nomor 36 tahun 2009 ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan `pemerkosaan` dan `yang dapat menyebabkan trauma psikologis`. Berdasarkan pada keadaan yag demikian maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang menyangkut pada: 1) Apa esensi landasan filsafati perlindungan hukum bagi perempuan-korban perkosaan untuk memperoleh hak aborsi, 2) Apakah implikasi yuridis Pasal 75 UU Nomor 36 tahun 2009 sudah memberikan perlindungan hukum secara maksimal terhadap hak aborsi korban perkosaan, dan 3) bagaimana formulasi hak aborsi akibat perkosaan dalam pembaruan hukum pidana. Dengan rumusan permasalahan di atas, maka bentuk penelitian disertasi ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan filsafat, konseptual, perbandingan hukum, dan undang-undang. Kemudian dalam menganalisis dilandasi dengan teori-teori Hak Asasi Manusia, Keadilan dan gender, Perlindungan hukum, Korban kejahatan dalam perspektif viktimologi dan psikologi, Pertanggunjawaban dan sifat melawan hukum pidana, dan Kebijakan hukum pidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak asasi perempuan merupakan kesatuan dari hak asasi manusia yang bersifat universal, oleh karenanya keberadaan hak reproduksi perempuan yang merupakan perwujudan dari hak asasi perempuan pada dasarnya juga merupakan kesatuan bulat dan utuh sebagai Hak Asasi Manusia yang bersifat hakiki. Oleh karenanya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia akan menyankut pula akan keberadaan hak asasi perempuan dan hak reproduksi perempuan dalam memunculkan adanya pemenuhan keadilan bagi perempuan. Dengan demikian secara filsafati hak asasi manusia, hak asasi perempuan dan hak reproduksi perempuan serta rasa keadilan merupakan landasan bagi keberadaan hak aborsi korban perkosaan. Mengenai Persoalan kehamilan akibat perkosaan dalam ketentuan pasal 75 ayat 2b UU nomor 36 tahun 2009 mempunyai pemahaman yang abstrak, terutama tidak dijelaskannya batasan pengertian `perkosaan` sehingga menimbulkan kekaburan norma. Sedangkan unsur `yang dapat menimbulkan trauma psikologis` menimbulkan diskriminasi bagi perempuan korban perkosaan, persoalannya bagaimana jika kehamilan perempuan korban perkosaan tidak menyebabkan atau mengalami trauma psikologi. Dengan kondisi demikian perempuan-korban perkosaan yang tidak trauma-psikologis tidak berlaku pasal 75 ayat 2b Undang Undang nomor 36 tahun 2009 baginya, jelas ini diskriminasi yang mencerminkan tidak maksimal dalam memberikan Perlindungan hukum terhadap hak aborsi korban perkosaan. Model formulasi perlindungan hukum atas hak aborsi akibat perkosaan dalam pembaruan hukum pidana ialah pengubahan batas waktu aborsi 6 minggu sebagaimana diatur dalam pasal 76 UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menjadi 120 hari, sebagaimana hal ini juga didasarkan pada pendapat fiqih dan medis, dan membandingkan beberapa negara yang mayoritas berpenduduk Islam, seperti Tunisia 10 minggu dan Qatar 120 hari dalam pelaksanaan aborsi. Kemudian hasil analisis tentang keberadaan pasal 194 UU nomor 36 tahun 2009 tentang ketentuan pidana dipandang kurang tepat jika dihubungkan dengan Pasal 75 UU nomor 36 tahun 2009. Namun akan lebih tepat jika difungsikan untuk melindungi syarat-syarat pelaksanaan aborsi akibat perkosaan yang terdapat dalam Pasal 76 UU nomor 36 tahun 2009. Selain itu apabila Pasal 194 ditujukan untuk memagari Pasal 75 UU nomor 36 tahun 2009 akan menimbulkan pertentangan norma dengan Pasal 346, 347, 348 dan 349 KUHP mengingat bahwa sesungguhnya pelanggaran terhadap Pasal 75 UU nomor 36 tahun 2009 adalah perkosaan sebagai tindak pidana biasa sebagaimana yang diatur oleh KUHP. Dengan tetap memperhatikan aspek agama, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam penelitian ini ialah perubahan pada undang undang kesehatan yang berkaitan dengan pengaturan aborsi tentang perkosaan agar mengedepankan aspek perlindungan hak-hak perempuan daripada aspek moral yang sempit dan tidak memiliki ukuran yang jelas, serta menghindari adanya pasal-pasal yang memuat kandungan diskriminatif dan atau tidak jelas (kabur) terhadap perempuan