Saling Mengimbangi dan Saling Kontrol antara Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden dalam Pembentukan Undang-Undang
Main Author: | AlAtok, ARosyid |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2012
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160831/ |
Daftar Isi:
- Keberadaan undang-undang dalam suatu negara mempunyai kedudukan strategis dan penting, baik dilihat dari konsepsi negara hukum, hirarki norma hukum, maupun dari fungsi UU pada umumnya. Dalam konsepsi negara hukum, UU merupakan salah satu bentuk formulasi norma hukum dalam kehidupan bernegara. Karena itu pembentukan UU merupakan langkah penting untuk dapat menghasilkan UU yang ideal. Untuk menghasilkan UU yang baik, maka proses pembentukannya harus dilakukan dengan prinsip checks and balances (saling mengimbangi dan saling kontrol) antar lembaga negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangan yang dimiliki. Proses checks and balances dalam pembentukan UU bisa dilakukan melalui kerjasama baik antar lembaga negara di bidang legisltif maupun kerjasama antara lembaga legislatif dan eksekutif. Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 hanya mengatur tentang pembentukan UU dalam beberapa pasal yang menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan legislatif dengan persetujuan DPR. Setelah perubahan UUD 1945, dalam pembentukan UU, selain melibatkan DPR dan Presiden juga nelibatkan DPD disertai mekanisme checks and balances dengan menempatkan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Namun, dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada, upaya untuk menciptakan saling mengimbangi dan saling kontrol dalam pembentukan UU antara DPR, DPD, dan Presiden ternyata masih banyak mengandung permasalahan, baik secara filosofis, teoritis, maupun yuridis. Secara filosofis pembagian kewenangan antara DPR dan DPD dalam pembentukan UU masih belum berimbang secara proporsional. DPD cenderung ditempatkan sebagai subordinat dari DPR, sehingga kurang menunjukkan keadilan dan kurang menunjukkan eksistensi DPD sebagai parlemen dari unsur lembaga perwakilan daerah. Kewenangan DPD dalam pembentukan UU yang amat terbatas, secara teoritis juga menunjukkan kurangnya konsistensi dalam menerapkan sistem parlemen dua kamar. Begitu pula kuatnya keterlibatan Pemerintah dalam pembahasan RUU ada yang memandang sebagai kerancuan dalam menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Di samping itu juga terdapat kekosongan pengaturan dalam hal apa yang harus diperbuat oleh Presiden jika Pimpinan DPR dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak menyampaikan RUU yang telah disetujui bersama kepada Presiden. Kekosongan pengaturan juga terjadi dalam hal status hukum dari PERPU yang ditolak DPR antara tenggang waktu antara penolakan DPR dan berlakunya UU Pencabutannya. Apa yang menjadi kriteria `hal ihwal kegentingan yang memaksa` yang dapat dijadikan alasan Presiden untuk menetapkan PERPU sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 ternyata tidak dijabarkan dan dijelaskan oleh UU sehingga dapat menimbulkan kekaburan pengaturan. Berdasarkan latar permasalahan tersebut, dipandang perlu untuk melakukan studi pengkajian dan analisis mengenai pengaturan proses saling mengimbangi dan saling kontrol antara DPR dan DPD, dan antara DPR dan Presiden dalam pembentukan UU setelah perubahan UUD 1945. Penelitan ini dirancang sebagai penelitian hukum normatif dengan menggunakan statuta approach, conceptual approach, hystorical approach, dan comparative approach. Sedang landasan teori yang digunakan adalah Teori Negara Hukum, Teori Pembagian Kekuasaan, Teori Sistem Pemerintahan, Teori Sistem Parlemen, dan Teori Perundang-undangan. Data penelitian ini berupa bahan hukum primer yang terdiri dari UUD 1945 dan perubahan-perubahannya, UU No. 12 Tahun 2011, UU No. 27 Tahun 2009, UU No. 17 Tahun 2003, Perpres No. 61 Tahun 2005, Perpres No. 68 Tahun 2005, Perpres No. 1 Tahun 2007, dan paraturan perundang-undangan lainnya seperti Tata Tertib DPR RI dan Tata Tertib DPD RI. Di samping itu juga didukung oleh bahan hukum sekunder yang terdiri dari bahan-bahan pustaka, laporan penelitian, dan pendapat para ahli, serta bahan hukum tersier seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya. Analisis yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan DPD dalam pembentukan UU amat terbatas sehingga tidak cukup memadai untuk disebut sebagai lembaga pembentuk UU. DPD sebagai kamar kedua tidak mempunyai kewenangan yang cukup memadai untuk bisa mengontrol proses legislasi di DPR, tetapi sebaliknya DPR mempunyai kewenangan mengontrol secara penuh usulan RUU dan pertimbangan DPD terhadap RUU tertentu yang menjadi kewenangannya. Dengan demikian sistem parlemen setelah Perubahan UUD 1945 belum dapat dikatakan sebagai bikameral. Namun terdapat kewenangan yang cukup berimbang antara DPR dan Presiden dalam pembentukan UU. Penegasan dan penguatan fungsi legislasi DPR setelah Perubahan UUD 1945 ternyata tidak disertai dengan pengurangan kewenangan Presiden untuk ikut membahas dan memberikan persetujuan bersama DPR dalam pembentukan UU. Temuan hasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam proses pembentukan UU, tidak terjadi proses double checks antara DPR dan DPD, sehingga tidak terdapat proses saling mengimbangi dan saling kontrol antara keduanya. Kedudukan DPD hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang difungsikan sebagai badan pertimbangan dalam pembentukan UU. Hal ini tentu tidak sesuai dengan jiwa dan semangat dari Perubahan UUD 1945 yang bermaksud untuk menciptakan proses checks and balances dalam pembentukan UU melalui sistem bikameral. Namun terdapat proses saling mengimbangi dan saling kontrol yang efektif antara DPR dan Presiden dalam setiap tahap pembentukan undang-undang. Kewenangan Presiden dalam ikut membahas dan memberikan persetujuan terhadap setiap RUU adalah semacam hak veto yang dipunyai oleh Presiden Amerika Serikat atau hak pengajuan keberatan yang dipunyai oleh negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan Presidensial. Berdasarkan hasil dan temuan tersebut, maka perlu dilakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945 dengan menambah dan mempertegas kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang sehingga lebih memadai dan lebih mempertegas sistem parlemen bikameral yang dimaksudkan. Di samping itu perlu juga dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan DPD dalam pembentukan UU yang terdapat dalam UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 12 Tahun 2011. Bahkan jika dipandang perlu dilakukan uji materi dari pasal-pasal yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Perubahan UUD 1945. Keterlibatan Presiden dalam pembentukan UU, khususnya dalam pembahasan dan pemberian persetujuan setiap RUU yang merupakan ciri karakteristik dan kelebihan pola pembentukan UU menurut UUD 1945 perlu dipertahankan dan lebih diefektifkan.