Politik Hukum Pengakuan Peradilan Adat Di Provinsi Papua Pasca Berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus
Main Author: | Jamin, Mohammad |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160828/ |
Daftar Isi:
- Disertasi ini berjudul `Politik Hukum Pengakuan Peradilan Adat Di Provinsi Papua Pasca Berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus`, dengan fokus pada 3 (tiga) masalah, yaitu : (1) Apa hakikat peradilan adat bagi masyarakat hukum adat di Provinsi Papua ?; (2) Mengapa terjadi pergeseran politik hukum pengakuan peradilan adat bagi masyarakat hukum adat di Provinsi Papua pasca berlakunya Undang-undang Otonomi Khusus?; (3) Bagaimana formulasi politik hukum pengakuan terhadap kelembagaan, kewenangan, dan putusan peradilan adat dalam sistem kekuasaan kehakiman yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat hukum adat ? Karakteristik penelitian ini termasuk tipe penelitian hukum normatif dengan dilengkapi konfirmasi data lapangan menggunakan instrumen wawancara. Pendekatan penelitian berupa pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan konseptual, pendekatan filsafat, dan pendekatan perbandingan. Analisis penelitian menggunakan teori negara kesatuan, teori hirarki/sinkronisasi perundang-undangan, teori hukum responsif, teori keadilan (restoratif), teori pluralisme dan multikulturalisme hukum, dan teori hak asasi / otonomi masyarakat hukum adat. Analisis bahan hukum dilakukan secara yuridis kualitatif menggunakan tehnik interpretasi. Hasil dan temuan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, hakikat peradilan adat pada masyarakat hukum adat di Papua merupakan lembaga penegak hukum dan penyelesai perkara adat yang tumbuh alamiah dan genuine dari dalam dan bersamaan lahirnya kesatuan masyarakat hukum adat. Peradilan adat bukan penjelmaan dari Inheemsche rechtspraak (peradilan pribumi versi Hindia Belanda, Pasal 74 R.R./130 I.S.), melainkan sebagai community justice system yang informal dan otonom, hidup dan dijalankan oleh kepala masyarakat hukum adat bersangkutan berbasis kearifan lokal berdasar musyawarah untuk mendapatkan restorative justice. Penerapan reaksi adat bertujuan untuk menjaga dan atau mewujudkan kembali keseimbangan komunal, memulihkan dunia kosmis dan menjaga agar tata kehidupan kemanusian berjalan dengan baik dan harmonis (restitutio in integrum). Putusan ondoafi/ondofolo/ontofro terikat dengan roh-roh nenek moyang dan diyakini sakral, sehingga tidak dikenal istilah pengadilan banding/bertingkat. Ondoafi/ondofolo/ontofro dalam menjalankan fungsi sebagai hakim adat dilambangkan dengan filosofi : Matahari, Tanah, Burung Kuning (Cenderawasih), Api, Air, Beringin, dan Samudra. Hakim adat dat dalam forum para-para menggunakan pendekatan hukum adat, dengan berpegang pada asas pokok yaitu asas rukun, patut, laras, dan musyawarah. Kedua, politik hukum dualisme badan peradilan sejak Hindia Belanda berakhir dan diganti unfikasi dengan berlakunya Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, yang menghapus Peradilan Adat. Politik hukum unifikasi peradilan tersebut bergeser dengan berlakunya Undang- Un dang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang mengakui peradilan adat. Pergeseran politik hukum dari mengingkari (ignorance) menjadi mengakui (recognized) peradilan adat di Papua disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Paket Kompromi Politik Pemerintah Pusat; (2) Tuntutan Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli Papua; (3) Tuntutan Pemenuhan Nilai-Nilai Dasar Otonomi Khusus Papua (Perlindungan Terhadap Hak-Hak Dasar Penduduk Asli Papua; Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia; Penghargaan Terhadap Pluralisme). Ketiga, politik perundang-undangan sebagai legal policy tentang pengakuan peradilan adat harus diletakkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Politik hukum pengakuan peradilan adat model Co-existence lebih tepat diadopsi. Formulasi politik hukum pengakuan peradilan adat dalam sistem kekuasaan kehakiman yang responsif terhadap masyarakat hukum adat meliputi hal-hal sebagai berikut : (1) Kelembagaan peradilan adat diakui sebagai peradilan di luar negara yang berfungsi sebagai lembaga judicial non litigasi yang berasaskan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat yang memiliki kemandirian dan otonomi; (2) Peradilan adat diakui berwenang mengadili perkara adat berupa sengketa dan pelanggaran adat diantara warga masyarakat hukum adat. Pelanggaran adat murni menjadi kewenangan absolut peradilan adat. Pelanggaran adat yang ada padanannya dalam KUHPidana (double criminality) dengan ancaman pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun menjadi kewenangan penuh peradilan adat dan putusannya bersifat final, jika ancaman pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun, peradilan adat hanya berwenang mengadili sebatas pelanggaran hukum adat dan sanksi adatnya, dan selanjutnya akan dipertimbangkan hakim pengadilan negara dalam menjatuhkan putusannya; (3) Putusan peradilan adat diakui bersifat final, tidak ada peluang untuk mengajukan permintaan pemeriksaan dan pengadilan ulang oleh peradilan negara sepanjang tidak melanggar HAM atau pelanggaran adat yang juga merupakan perkara pidana menurut hukum positip dengan ancaman hukuman di&nbs