Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman
Main Author: | Sudantra, IKetut |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160820/ |
Daftar Isi:
- Disertasi ini berjudul `Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman`, yang membahas 3 (tiga) masalah, yakni: apa hakikat peradilan adat menurut sistem hukum Indonesia?; (2) bagaimana dinamika pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasan kehakiman?, serta (3) apa relevansi pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman? Penelitian ketiga masalah tersebut menggunakan tipologi penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan historis, dan futurstik hukum. Sebagai kerangka teoritik dalam penelitian ini digunakan teori pluralisme hukum, teori otonomi kesatuan masyarakat hukum adat, teori politik hukum, dan teori cita hukum. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama , hakikat peradilan adat menurut sistem hukum di Indonesia adalah suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Struktur, mekanisme, dan hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah berdasarkan pada hukum adat setempat dan sesuai dengan kondisi kesatuan masyarakat hukum adat masing-masing. Kedua , dinamika pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman di Indonesia berjalan seiring dan bersangkutpaut dengan dinamika sejarah perkembangan politik, hukum, dan pemerintahan sejak jaman sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Hal ini tidak lepas dari realita bahwa politik hukum – termasuk politik hukum kekuasaan kehakiman – dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlangsung. Berdasarkan kajian historis dapat diketahui bahwa pada jaman Hindia Belanda diakui dua bentuk peradilan yang berlaku bagi penduduk golongan pribumi dan mengadili berdasarkan hukum adat, yaitu (1) peradilan pribumi atau peradilan adat ( inheemsche rechtsspraak ) –sebagai sandingan dari peradilan bagi penduduk golongan Eropa, yaitu peradilan gubernemen ( gouvernements-rechtspraak )– dan (2) peradilan desa ( dorpjustitie ), yang dilakukan oleh hakim-hakim masyarakat-masyarakat kecil (hakim desa). Pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat masih dilanjutkan pada jaman pendudukan Jepang dan di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi sejak 1951 keberadaan peradilan pribumi/adat ( inheemsche rechtsspraak ) dihapuskan secara berangsur-angsur namun tanpa mengurangi kewenangan-kewenangan dari peradilan desa. Selanjutnya pengakuan terhadap peradilan adat dalam rangkaian undang-undang kekuasan kehakiman yang berlaku sejak itu mengalami pasang surut, ada yang secara tegas tidak mengakui dan sama sekali tidak memperkenankan lagi praktek-praktek peradilan adat (Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 1964 dan 1970), ada yang masih memberinya peluang (Undang-undang Kekuasaan kehakiman 2004), dan ada pula yang bersikap tidak jelas terhadap posisi peradilan adat (Undang-undang Kekuasaan Kehakiman 2009). Menariknya, keberadaan peradilan adat justru diakui dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001), sehingga saat ini terjadi inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan RI terkait dengan pengakuan terhadap peradilan adat. Ke depan, politik hukum nasional tampaknya mengapresiasi dan mengakomodasi pengakuan terhadap peradilan adat melalui undang-undang yang mengatur kesatuan masyarakat hukum adat, bukan melalui undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman, sebagaimana tampak dari substansi rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Panitia Ad. Hoc. I DPD-RI (2009) dan juga yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR-RI (2012) yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Ketiga , relevansi pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman dapat ditinjau dalam tiga perspektif. Pertama , dari perspektif politik pembangunan hukum nasional pengakuan terhadap peradilan adat dalam politik hukum kekuasan kehakiman sangat relevan karena: (1) merupakan langkah sinkoronisasi politik hukum messo terkait dengan pengakuan terhadap peradilan adat; (2) untuk mewujudkan paradigma pembangunan hukum yang bernuansa legal pulralism (pluralisme hukum). Kedua , pengakuan peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman sangat relevan dalam mewujudkan pengakuan terhadap hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Terakhir , pengakuan terhadap peradilan adat sangat relevan untuk mewujudkan cita hukum, karena dalam peradilan adat terkandung nilai-nilai luhur dalam penyelesaian perkara yang menjadi cita-cita masyarakat dalam berhukum yang sangat penting diwujudkan dalam politik hukum kekuasaan kehakiman. Pengakuan terhadap peradilan adat dalam politik hukum kekuasaan kehakiman juga sangat relevan untuk menguatkan peradilan adat dalam rangka mewujudkan tiga aspek cita hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat, terutama masyarakat hukum adat, baik sebagai kesatuan maupun secara individual sebagai warga kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan temuan penelitian, akkhirnya direkomendasikan agar Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia segera mengambil langkah-langkah (1) mewujudkan undang-undang yang mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum adat di mana di dalamnya diatur pengakuan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat termasuk hak kesatuan masyarakat hukum adat dalam melaksanakan sistem peradilan sendiri (peradilan adat); (2) merevisi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman agar mengakomodasi pengakuan terhadap peradilan adat.