Pembentukan Partai Politik Lokal Di Negara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional
Main Author: | Rifqinizamy, M |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160699/ |
Daftar Isi:
- Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan tentang bangsa Indonesia yang majemuk sebagaimana dinyatakan dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan `.....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia`. Hal ini juga disimbolkan dengan semboyan `Bhineka Tunggal Ika` pada lambang negara `Garuda Pancasila`. Dalam UUD NRI Tahun 1945, Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Kesatuan (vide Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945), namun di pihak lain segala kebhinekaan dan kekhasan daerah diberi ruang untuk berkembang, salah satunya melalui otonomi daerah (vide Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945). Prinsip otonomi daerah yang dianut dalam Konstitusi itu kemudian dijabarkan dalam ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU a quo, seluruh urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah, kecuali urusan pemerintahan di bidang : a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Secara a contrario, ketentuan itu dapat dimaknai bahwa salah satu otonomi yang dimiliki daerah ialah otonomi dalam bidang politik. Otonomi di bidang politik menjadi jalan bagi masyarakat daerah berpartisipasi dalam tata kelola pemerintahan secara umum, khususnya pemerintahan daerah. Saat ini ikhtiar untuk mewujudkan otonomi di bidang politik tersebut dilakukan dengan memberi pengaturan tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung, serta pemiihan anggota legislatif secara langsung pula. Hanya saja dalam kedua Pemilu itu, intervensi struktur kepartaian di tingkat pusat acapkali dilakukan terhadap struktur partai di level lokal. Ini disebabkan sistem kepartaian yang ada dalam UU No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan UU No.8 Tahun 2012 Tentang Pemilu hanya memberikan ruang bagi sistem kepartaian nasional semata. Sistem kepartaian yang bersifat lokal belum terakomodasi. Melalui penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach), penelitian ditujukan untuk mengetahui tiga hal yang menjadi objek penelitian ini, yaitu : 1). untuk mengetahui politik hukum nasional dalam pembentukan UU Partai Politik dan UU Pemilu saat ini yang belum memberi ruang bagi keberadaan partai politik lokal, selain di Provinsi NAD, 2). untuk menemukan landasan pemikiran yang digunakan untuk melahirkan partai politik lokal di Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berotonomi, dan 3). untuk menemukan konsep partai politik lokal yang relevan diterapkan di Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berotonomi dari Perspektif Yuridis Konstitusional. Hasil penelitian ini menunjukkan, Politik hukum nasional dalam pembentukan UU Partai Politik dan UU Pemilu saat ini belum memberi ruang bagi keberadaan partai politik lokal selain di Provinsi NAD, dikarenakan beberapa alasan. Pertama : diberikannya ruang bagi hadirnya partai politik lokal dikhawatirkan oleh pembentuk UU akan melahirkan semangat lokalitas/kedaerahan yang amat kuat dibanding semangat ke-Indonesiaan yang dapat berujung pada disintegrasi. Kedua : Pembentuk UU beranggapan, institusionalisasi partai politik di Indonesia baru akan terbangun jika partai politik memiliki akar di seluruh wilayah di Indonesia. Karenanya, syarat mendirikan partai politik dan keikutsertaannya di Pemilu dirancang menjadi partai yang berpostur nasional semata. Ketiga : Diberikannya ruang hadirnya partai politik lokal di NAD dalam UU PA sesungguhnya didasari oleh tuntutan dari salah satu butir Nota Kesepahaman (MOU) Helsinky antara RI-GAM, bukan atas dasar otonomi khusus yang diberikan pada NAD sebagaimana terungkap dari Risalah pembentukan UU PA. Sayangnya, secara yuridis hal itu tidak dijadikan landasan dalam pembentukan UU PA dimaksud. Landasan yang digunakan untuk melahirkan partai politik lokal di Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berotonomi terdiri dari lima landasan, yaitu ; Pertama : landasan teoritis yang memberikan kenyataan bahwa Indonesia dengan otonomi yang dianutnya menganut ajaran federalisme. Ajaran yang digunakan banyak negara untuk mengelola kemajemukan di dalamnya melalui kebijakan yang desentralistik, termasuk dalam sistem kepartaian. Kedua : landasan yuridis konstitusional terdiri dari dua prinsip konstitusi, yaitu prinsip negara kesatuan yang berotonomi dan prinsip kesetaraan dan kemerdekaan setiap warga negara dalam berpemerintahan. Kedua prinsip itu belum dapat dilaksanakan sepanjang sistem kepartaian di Indonesia masih bercorak nasional semata seperti saat ini. Ketiga : landasan sosiologis didasari oleh kenyataan bahwa semakin terdeferensiasinya pilihan masyarakat Indonesia yang majemuk ini dari Pemilu ke Pemilu. Didapati pula fakta bahwa beberapa partai politik mendapat suara signifikan di beberapa daerah secara konsisten dalam beberapa Pemilu terakhir, kendati suaranya minim secara nasional. Keempat : landasan historis berupa pengalaman sejarah bahwa pada Pemilu 1955 dan Pemilu-pemilu lokal era itu terdapat beberapa partai politik lokal. Salah satu partai politik lokal yaitu PPD di Kalbar bahkan memenangi pemilu pada 1955 dan 1958 di Provinsi itu dan menghantarkan kadernya sebagai Gubernur Kalbar dan beberapa Bupati di sana. Kelima adalah landasan komparatif di Inggris sebagai Negara Kesatuan dan Malaysia sebagai Negara Federal. Di kedua negara ini partai politik lokal hadir seiring dengan diberikannya kewenangan yang luas bagi daerah melalui devolusi dan otonomi. Sedangkan konsep partai politik lokal yang relevan diterapkan di Indonesia dalam perspektif yuridis konstitusional menurut penelitian ini adalah : Pertama : Partai politik lokal yang kehadirannya didasarkan oleh paradigma pluralis dalam pembentukan partai politik. Paradigma memberikan syarat bahwa di masyarakat yang majemuk semestinya dibangun oleh sistem kepartaian desentralistik guna menopang pluralitas masyarakat itu. Kedua : Partai politik lokal yang dikonsepkan adalah satu badan hukum tersendiri yang dikotomik dengan partai politik nasional sebagai badan hukum lain. Ia berkedudukan di Provinsi dengan cabang di Kabupaten/Kota dalam Provinsi dimaksud. Ketiga : Keikutsertaan partai politik lokal dalam Pemilu hanya sebatas Pemilu Lokal yaitu Pemilukada dan Pemilu Legislatif calon anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Keempat : Mekanisme pembentukan, pengawasan dan pembubaran partai politik lokal dirancang mirip dengan proses serupa untuk partai politik nasional sebagaimana yang berlaku saat ini.