Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Main Author: | Rubaie, Ach |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/160466/ |
Daftar Isi:
- Judul Disertasi tersebut diangkat, karena dilatarbelakangi adanya tiga problem utama, yaitu problem filosofis, problem teoritis dan problem yuridis. Problem filosofis, yaitu tidak adanya batasan atau pengertian dari keadilan substantif yang bersifat umum dan dapat diterima oleh semua pihak. Tidak terdapatnya batasan atau rumusan tentang hakekat dari keadilan substantif dalam perspektif intersubyektif, maka dapat saja hakim konstitusi terjebak dalam pengertian keadilan substantif yang bersifat subyektif, yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan oleh pengadilan, jika tidak diikuti oleh integritas, profesionalitas dan sikap negarawan dari para hakim konstitusi. Problem teoritis, karena menurut Teori Pemisahan Kekuasaan, dengan dikeluarkan putusan ultra petita tersebut, MK melampaui batas kewenangan konstitusional dan masuk ranah legislatif, terlebih pada putusan bersifat pengaturan (regeling) atau menciptakan norma hukum baru, yang notabene merupakan kewenangan badan legislatif. Problem yuridis, berkaitan dengan larangan mengeluarkan putusan ultra petita oleh MK, pernah diatur dalam Pasal 45A Undang Undang nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi: "Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan”. Berdasarkan norma yang diatur pasal 45A tersebut, pada prinsipnya MK dilarang mengeluarkan putusan ultra petita (melebihi permohonan pemohon atau tidak diminta oleh pemohon). Dikecualikan dari larangan tersebut, MK tetap diperbolehkan membuat putusan ultra petita sepanjang atau terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan. Ironisnya, ketentuan Pasal 45A tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui putusan judicial review MK dengan Nomor: 48/PUU-IX/2011. Sehingga, secara yuridis normatif larangan MK mengeluarkan putusan bersifat ultra petita, sejak itu tidak lagi memiliki dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan atau terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum), tepatnya kekosongan Undang - Undang (wetvacuum). Bertitik tolak pada ketiga problem di atas, diajukan dua permasalahan pokok sebagai berikut: (1) Apa dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bersifat ultra petita? (2) Adakah batas-batas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan bersifat ultra petita? vii Dari hasil analisis atau pembahasan masalah dalam disertasi ini, diperoleh dua kesimpulan: (1) Dasar pertimbangan MK mengeluarkan putusan bersifat ultra petita adalah: a) pertimbangan filosofis, yakni dalam rangka menegakkan keadilan substantif dan keadilan konstitusional; serta dalam rangka mengawal nilai-nilai konstitusi sesuai spirit yang tercantum dalam nilai-nilai dasar Pancasila; b) pertimbangan teoritis, hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, dapat menemukan dan menciptakan hukum, dan; c) pertimbangan yuridis terkait dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”, ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi: “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai alat bukti dan keyakinan hakim", dan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengamanatkan bahwa: “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. (2) Adapun batas-batas kewenangan MK dalam mengeluarkan putusan bersifat ultra petita adalah: a) prinsip-prinsip negara hukum demokratis; b) prinsip-prinsip peradilan merdeka dan tidak memihak, dan c) asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik. Dari dua kesimpulan tersebut diatas, diajukan saran sebagai berikut: 1. Dalam rangka memenuhi asas legalitas dan kepastian hukum sebagai elemen dari prinsip Teori Negara Hukum, dan sesuai dengan prinsip Teori Peran dan Tugas Hakim serta Teori Kewenangan maka berkait kewenangan memutus Ultra Petita oleh MK, disarankan kepada DPR-RI sebagai pembentuk Undang-Undang melakukan legislative review terhadap Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan memasukkan kewenangan MK memutus secara Ultra Petita dengan usulan redaksi sebagai berikut: "Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya dapat membuat putusan bersifat Ultra Petita dalam rangka menegakkan keadilan konstitusional dan keadilan substantif”. 2. Dalam rangka menegakkan keadilan konstitusional dan keadilan substantif Hakim MK wajib memahami, menghayati dan mengamalkan semua prinsip-prinsip yang terkandung dalam Prinsip-prinsip Negara Hukum Demokratis, Prinsip-prinsip peradilan Yang Merdeka dan Tidak Memihak, Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara Yang Baik guna mencegah penyalahgunaan wewenang oleh hakim MK dalam memutus perkara bersifat Ultra Petita. 3. Dalam rangka menjaga keluhuran dan martabat hakim sebagaimana tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, MK wajib membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) sebagaimana diamanatkan pasal 27A ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Pembentukan MKHK tersebut dimaksudkan sebagai tempat penyaluran komplain bagi masyarakat pencari keadilan jika mengalami perlakuan sewenang-wenang oleh hakim. MKHK juga menjadi tempat bagi Hakim guna melakukan pembelaan terhadap tuduhan tindakan tercela sehingga keluhuran hakim tetap dapat terjaga. 4. Dalam rangka menjamin terselenggaranya pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam lapangan Peradilan Tata Negara guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disarankan kepada MPR-RI sebagai lembaga pembentuk dan pengubah konstitusi melakukan amandemen UUD NRI 1945 guna melakukan perubahan dan penambahan pasal-pasal dalam rangka penguatan fungsi kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim MK demi tegaknya Negara Hukum Republik Indonesia. 5. Mengingat masih terdapat problem akademik yang belum terpecahkan secara tuntas mengenai Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi RI yang menjadi judul disertasi ini, terutama mengenai hakekat keadilan substantif maka disarankan dilakukan penelitian disertasi lanjutan guna mendapatkan pengertian mendalam tentang hakekat keadilan substantif tersebut.