Kosmologi Ruang Jawa Pada Rumah Kolonial di Kampung Bubutan Surabaya

Main Author: Cahyani, Risqi
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2014
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/160284/
Daftar Isi:
  • Kampung Bubutan di Surabaya merupakan kampung kuno yang sudah ada sejak jaman kejayaan Kerajaan Hindu Mataram pada abad ke-15. Kampung dengan masyarakat pribumi beretnis Jawa ini merupakan penduduk asli Surabaya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, rumah tinggal penduduk pribumi di kampung ini menjadi bernuansa kolonial. Sejak berkembangnya kolonialisme di Surabaya pada abad ke-17, gaya arsitektur Kolonial milik warga Belanda lambat laun mempengaruhi gaya arsitektur rumah orang pribumi (wong Jowo).saat itu muncul anggapan bahwa rumah yang berstatus sosial tinggi dan ideal adalah rumah bergaya kolonial. Kosmologi Jawa berkaitan dengan mitos, nilai, simbol dan tradisi. Salah satunya berwujud arsitektur Jawa yang merupakan bagian dari pencapaian kesempurnaan hidup manusia Jawa. Studi ini bertujuan untuk menggali pemaknaan kosmologi ruang Jawa yang tersirat dalam rumah Kolonial, agar hasil dari studi ini dapat digunakan untuk keberlanjutan lokalitas arsitektur nusantara.Pada bagian Tinjauan Pustaka, menggali teori-teori dari penelitian terdahulu melalui tiga pokok tema, yaitu arsitektur Jawa; arsitektur Kolonial; dan tinjauan mengenai hubungan fungsi dan makna ruang, sehingga diperoleh enam variabel kosmologi ruang Jawa, yaitu mitos mancapat, mitos simetrisitas, nilai konsentris, nilai gelap terang, simbol gunung, dan simbol keindahan alam. Melalui penentuan beberapa kriteria pemilihan kasus rumah, diperoleh tigabelas kasus rumah di kampung Bubutan. Metode dalam proses analisisnya diawali dengan Kajian Mikro yang memberikan gambaran identifikasi dan analisa pada masing-masing keenam variabel kosmologi ruang Jawa terhadap ketigabelas kasus rumah. Tahapan selanjutnya, mulai dilakukan sintesis melalui Kajian Meso, dengan mengelompokkan ketigabelas kasus rumah ke dalam tiga bagian tipe rumah kolonial, yaitu Indische Empire Style, Voor 1900, dan NA-Romantiek. Pengelompokan ini bertujuan untuk memperoleh tren perkembangan keenam variabel pada tiga belas kasus rumah. Tahapan yang terakhir adalah Kajian Makro, pada tahapan ini mulai dilakukan sistesis terhadap ketiga tipe rumah kolonial dan aspek non fisik penghuni rumah.Hasil dari tahapan analisa dan pembahasan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa variabel kosmologi ruang Jawa yang masih bertahan sampai saat ini berurutan secara hirarkhis, yaitu simbol gunung; nilai konsentris; dan konsep mancapat. Variabel kosmologi ruang Jawa yang mengalami pelemahan nilai, berurutan secara hirarkhis, yaitu nilai gelap terang; mitos simetrisitas; dan simbol keindahan alam. Rumah kolonial dengan nilai kosmologi ruang Jawanya tertinggi adalah rumah bapak Topa, sedangkan rumah kolonial dengan nilai kosmologi ruang Jawa terendah adalah rumah bapak Zuhdi. Keberadaan dalem dan senthong sebagai ‘pusat ruang`, merupakan sesuatu yang masih dapat dirasakan sampai sekarang. ‘Dalem` yang terletak di ruang bersama selalu menjiwai sisi fisik (bangunan) maupun dari sisi non fisiknya (penghuni). Beberapa hal terkait mitos Jawa seperti mitos mancapat, mitos simetris, mitos keagungan gunung, dan mitos ruang sakral yang gelap, sudah tidak menjadi hal yang diutamakan oleh penghuni rumah kolonial di Kampung Bubutan saat ini.Sebagian besar penghuni rumah kolonial di Kampung Bubutan mayoritas adalah muslim, mereka sudah mulai meningalkan hal-hal yang berbau kejawen. Semakin tinggi status sosial ekonomi pemilik rumah, maka olahan ragam hias pada rumah kolonialnya semakin kompleks dan beragam. Tingkat kompleksitas ragam hias pada rumah kolonial merupakan cerminan ‘jati diri` tingkat sosial ekonomi pemiliknya. Bagaimanapun keadaan non fisik saat ini, unsur simbol-simbol Jawa seperti pada bentuk atap perisai, detail pintu-jendela dan ornamen bangunan, merupakan perwujudan dari nilai-nilai petuah Jawa yang tetap ada hingga saat ini seperti: manunggaling kawula lan gusti, hamemayu hayuning bawana, sumeleh, rukun agawe santosa, dan tepa slira.