Peran Regulasi Klorin dalam Sitoplasma Oosit Ikan Lele (Clarias gariepinus) yang Dimaturasi secara in Vitro
Main Author: | Armansyah, Hadid |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2012
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/159073/ |
Daftar Isi:
- Kunci terjadinya proses maturasi (pematangan) adalah aktifnya molekul MPF dalam sitoplasma telur, namun MPF tidak bisa aktif jika aktifitas PKA masih tinggi, Thomas et al.(2004). PKA adalah molekul yang aktifitasnya sangat tergantung dengan level cAMP. Billodeau (2003). Jika level cAMP tinggi maka aktifitas PKA juga tinggi, sebaliknya level cAMP menurun maka aktifitas PKA juga menurun, sehingga dapat disebutkan bahwa level cAMP juga memegang peran penting terhadap terjadinya pematangan akhir pada oosit ikan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan-bahan yang bersifat oksidatif dapat memicu terjadinya penurunan jumlah cAMP dalam oosit, untuk itu penelitian ini akan menggunakan hypochlorite sebagai bahan oksodatif untuk menurunkan level cAMP dalam oosit ikan lele. Hypochlorite adalah bahan yang dapat memicu reaksi saponikasi, netralisasi asam amino dan kloraminasi, sehingga jika terpapar dengan oosit dapat menyebabkan stress bahkan kematian, untuk perlu penelitian tentang jumlah/konsentrasi hypochlorite yang aman bagi telur ikan. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui tahapan maturasi/GVBD dalam sitoplasma oosit ikan lele yang dipapar dengan klorin dan untuk mengetahui terjadinya aktivasi AMPK. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei hingga Oktober 2012 di Laboratorium Breeding dan Reproduksi, Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran, Laboratorium Biomol Fakultas MIPA Universitas Brawijaya dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Hewan uji yang digunakan adalah ikan lele ( Clarias gariepinus), Induk yang dipilih adalah induk yang umur sekitar 1 tahun dengan berat lebih dari 500 – 700 gram. Oosit diperoleh dengan cara bedah dari induk yang sebelumnya dianastesi dengan minyak cengkeh (100 ppm). Oosit yang terkumpul di cuci dengan PBS kemudian diamati dalam mikroskop untuk memastikan tingkat kematangan oosit telah mencapai tahap vitellogenesis akhir sampai awal maturasi. Klorin yang digunakan adalah klorin dalam bentuk larutan sodium hypochlorite dengan konsentrasi 5,25%. Oosit direndam dalam larutan yang mengandung sodium hypochlorite selama 15 menit kemudian larutan medium dibuang dan oosit dicuci dengan larutan PBS. Oosit yang terpilih dimasukkan ke dalam medium yang mengandung 3.74g NaCl, 0.32g KCl, 0,16g CaCl 2 , 0,10g NaH 2 PO 4 .2H 2 O, 0,16g MgSO 4 .7H 2 O, 0,40g glukosa and 0,008g phenol red. Semua bahan tersebut yang dilarutkan dalam 1 liter air suling ( triple distilled ), ditambahkan sodium bikarbonat (1·mol·L–1) hingga mencapai pH 7,5. ditambahkan penicillin 200.000 IU dan streptomycin sulphate 200·mg (Matsuyama et al ., 2001; Nayak et al ., 2004 Mishra dan Joy, 2006). Oosit dimasukkan ke dalam inkubator yang telah disetting pada suhu 30 0 C selama 24 jam. Untuk memperoleh pita elektroforesis dirunning pada gel running 12.5%, 0.25 M Tris-HCl pH 8.8, sacking gel 4.5% dalam 0.125 M Tris-HCl pH 6.8, arus listrik 80 mA selama 1 jam. Pewarnaan menggunakan 0.2% Coomassie Brilliant Blue yang dibuat dalam staining solution dengan 45:45:10 % (methanol:water:acetic acid). Pencucian pita menggunakan larutan yang mengandung methanol, aquades, acetic acid (25% : 65% :10%). Hasil pengamatan kultur oosit menunjukkan nilai persentase GVBDnya, dimana hasil perlakuan 0 μM dan 320 μM berbeda, pada perlakuan 0 μM pada pengamatan 4 jam persentase GVBD masih belum ada, begitu juga pada perlakuan 320 μM, namun berbeda pada pengamatan 6 jam, dimana 0 μM persentase GVBD udah mulai ada, sedangkan pada perlakuan 320 μM masih belum ada, pada pengamatan berikutnya yaitu pada 8 jam pengamatan, persentase GVBD 0 μM terus mengalami kenaikan, sementara pada 320 μM persentase GVBD baru sedikit, pada jam-jam berikutnya persentase GVBD 0 μM terus mengalami kenaikan, sementara pada perlakuan 320 μM juga mengalami kenaikan, tapi tidak sebanyak 0 μM, hal ini dikarenakan pada perlakuan 320 μM mampu melanjutkan kelangsungan hidup sampai GVBD, tetapi dikarenakan sudah dipapari klorin, akan mengakibatkan tidak ada keseimbangan molekul di dalamnya. Berat molekul yang diperoleh adalah seragam dari tiap-tiap perlakuan, baik pada dosis 320 μM, 160 μM, 80 μM, 40 μM, 20 μM dan 10 μM kecuali pada 0 μM tidak adanya 63 kDa. Begitu juga pada setiap jam pengamatan, 1,2,3, dan 4 jam. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai dosis optimum klorin secara aplikatif pemakaian dalam budidaya sehingga dapat dimanfaatkan s