Pengaruh Genistein Pada Kultur Sel Endometriosis dalam Meningkatkan Kadar BCL2 Accociated - X Protein (Bax)
Main Author: | Dewi, NiNyomanSriArtina |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2014
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/158545/ |
Daftar Isi:
- Endometriosis merupakan penyakit inflamasi yang ditandai oleh pertumbuhan jaringan endometrium di luar kavum uteri, paling sering terjadi pada ovarium. Kejadian endometriosis cukup banyak yakni 10% pada wanita usia reproduksi yang ditandai dengan gejala berupa dismenorea dan infertilitas. Belum diketahui secara pasti penyebab dari endometriosis, salah satu teori menyebutkan berhubungan dengan estrogen dependent yaitu penyakit yang tergantung estrogen. Tingginya kadar estrogen berpengaruh pada peningkatan proliferasi sel. Pada keadaan normal, aktifitas proliferasi sel dan apoptosis harus seimbang akan tetapi pada wanita yang mengalami endometriosis terjadi gangguan sensitifitas jaringan endometrial terhadap apoptosis, hal ini berkaitan dengan menurunnya faktor Bax. Bax merupakan kelompok proapoptosis yang mempromosikan kematian sel, dengan cara menghambat fungsi Bcl-2 dengan menghilangkan kemampuannya untuk memperpanjang kemampuan hidup sel. Upaya pengobatan untuk endometriosis sampai saat ini masih mempunyai berbagai kendala seperti halnya masih adanya efek samping yang ditimbulkan. Saat ini para ilmuwan berupaya mencari tehnik pengobatan endometriosis yang mempunyai efek farmakologik yang lebih baik yaitu diantaranya dengan pemberian genistein. Genistein merupakan golongan isoflavon yang mempunyai fungsi sebagai penghambat proliferasi, anti kanker dan pengaruh apoptosis. Hal ini disebabkan karena isoflavon merupakan selective estrogen receptor modulator (SERMs) yaitu senyawa yang dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Genistein mempunyai sistem kerja yang unik dimana pada saat estrogen kadarnya tinggi, genistein dapat bersifat antiestrogenik sedangkan pada saat estrogen kadarnya rendah maka genistein akan bersifat estrogenik. Sifat antiestrogenik dari genistein terjadi melalui mekanisme dengan menduduki reseptor estrogen tetapi bersifat lemah, tujuannya adalah agar ikatan antara reseptor dan estradiol terhalang. Berdasarkan hal tersebut diharapkan bahwa genistein dapat meningkatkan apoptosis dengan diawali oleh peningkatan kadar Bax. Pada penelitian ini peneliti mencoba memberikan genistein dengan berbagai ukuran dosis dan waktu inkubasi yang berbeda pula. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh genistein berbagai dosis pada kultur sel endometriosis dalam meningkatkan kadar Bax. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimental, post test only with control group. Penelitian ini melibatkan 2 kelompok yaitu kelompok kontrol (tanpa diberikan genistein) dan kelompok yang diberikan genistein berbagai dosis yang berbeda: 5 μmol/L, 10 μmol/L, 20 μmol/L, 30 μmol/L, 40 μmol/L, 50 μmol/L, dengan 3 inkubasi waktu yaitu 6 jam, 24 jam dan 48 jam. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan endometriosis yang diperoleh melalui suatu tindakan laparoskopi, , selanjutnya dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dan juga dilakukan flowcytometri untuk memastikan bahwa jaringan yang diambil merupakan jaringan endometriosis yang tepat. Pelaksanaan kultur dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah dibuat, dimana 6 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol dengan 3 masa inkubasi dilakukan pengamatan terhadap kadar Bax yang dihasilkan. Adapun pengukuran kadar Bax dilakukan dengan menggunakan Human Bcl 2-Associated X Protein Elisa Kit. Hasil eksperimen kadar Bax yang dipapar genistein berdasarkan dosis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rerata kadar Bax antara kelompok kontrol dengan semua kelompok perlakuan pemberian genistein berbagai dosis baik pada inkubasi 6,24 dan 48 jam. Berdasarkan inkubasi 6 jam peningkatan kadar Bax secara signifikan terjadi minimal pada dosis 20 μmol/L (P=0,000), Hal yang sama juga terjadi pada inkubasi 24 jam. Sedangkan pada inkubasi 48 jam terjadi perbedaan yang signifikan minimal pada dosis 30 μmol/L, 40 μmol/L dan 50 μmol/L (p=0,000) . Jadi diperoleh bahwa genistein pada dosis 50 umol/L memberikan nilai rerata kadar Bax tertinggi bila dibandingkan dengan perlakuan dosis yang lain. Pengukuran kadar Bax yang dipapar genistein antar waktu inkubasi 6 jam, 24 jam dan 48 jam pada kelompok pemberian genistein dosis 5 μmol/L, 20 μmol/L, 30 μmol/L dan 40 μmol/L memperlihatkan perbedaan yang signifikan (p 0,05). Sedangkan untuk dosis 10 μmol/L dan 50 μmol/L tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p0,05). Analisis regresi paling besar persentase pengaruh dosis genistein terhadap kadar Bax adalah pada waktu inkubasi 6 jam, yaitu sebesar 83,2%. Hal ini sangat bermakna secara statistik. Demikian pula, untuk kelompok waktu inkubasi 24 jam dipengaruhi oleh genistein sebesar 81,3%, dan untuk kelompok waktu inkubasi 48 jam dipengaruhi oleh genistein sebesar 77,9%. Dapat disimpulkan bahwa genistein berbagai dosis dan waktu inkubasi meningkatkan kadar Bax pada kultur sel endometriosis.