Pengaruh Pemberian Antibodi Monoklonal Bovine Zona Pelusida 3 Terhadap Ekspresi Antimullerian Hormone Dan Jumlah Folikel Antral Pada Ovarium Mencit
Main Author: | Khanifah, Milatun |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/158180/ |
Daftar Isi:
- Monoklonal antibodi bovine zona pelusida 3 (Mab bZP3) merupakan salah satu bahan yang sedang dikembangkan sebagai bahan kontrasepsi yang lebih efektif, aman,dan reversibel dari bahan kontrasepsi yang ada sekarang. Bagaimana kerja Mab bZP3 dalam menekan fertilitas dan pengaruhnya terhadap folikulogenesis masih perlu diteliti. Adanya antibodi ZP diduga mempengaruhi fungsi sel granulosa, yang diawali dengan kerusakan ZP. Salah satu peran sel granulosa adalah memproduksi Antimullerian Hormone (AMH) . Jika fungsi sel granulosa terganggu maka dapat terjadi penurunan produksi AMH. Antimullerian Hormone adalah peptide yang berfungsi menghambat perkembangan folikel pre antral menjadi antral. Penurunan AMH dapat mempercepat folikel pre antral menjadi antral, sehingga cadangan folikel ovarium berkurang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian Mab-bZP3 terhadap ekspresi MH dan jumlah folikel antral serta mengetahui perbandingan ekspresi AMH dan jumlah folikel antral ovarium mencit ( Mus musculus ) pada berbagai waktu pengamatan. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian True Eksperimental dengan pendekatan Post Tes Only Control Group Design . Penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dan Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya pada September-Desember 2014. Hewan coba dalam penelitian ini adalah mencit putih ( Mus musculus L ) galur Balb/c betina, usia 6 minggu, sejumlah 36 ekor. Mencit diaklimastisasi selama 10 hari agar dapat menyesuaikan dengan lingkungan barunya. Pemberian Mab bZP3 dan Phospate Buffer Saline (PBS) dilakukan setelah aklimatisasi, pada saat mencit mengalami fase estrus. Terdapat 6 kelompok mencit, yaitu 3 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok pada kontrol maupun perlakuan dibedah pada hari ke-5, ke-10, dan ke-20 untuk selanjutnya dilakukan pengamatan. Pembedahan untuk pengambilan organ ovarium dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Organ ovarium kemudian dikirim ke Laboratorium Patologi Veteriner Universitas Airlangga Surabaya untuk dilakukan emeriksaan histopatologi dengan pemeriksaan Imunohistokimia dan pengecatan Hematoksilin Eosin yang bertujuan untuk mengetahui ekspresi AMH dan jumlah folikel antral ovarium. Pengujian pengaruh Mab bZP3 terhadap ekspresi AMH dan jumlah folikel antral dilakukan dengan menggunakan uji Nested ANOVA. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian Mab bZP3 berpengaruh terhadap penurunan ekspresi AMH (pada folikel preantral dan antral, masing-masing p= 0.001), namun tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah folikel antral ( p =0.443). Hal ini diduga bahwa Mab bZP3 mampu merusak ZP secara lokal dan hanya mengganggu mekanisme autokrin dan parakrin pada proses folikulogenesis. Adanya conserved region pada polipeptida penyusun zona pelusida sapi dan mencit, menyebabkan Mab bZP3 dapat berikatan dengan ZP3 mencit. Ikatan ini menyebabkan kerusakan zona pelusida yang mengakibatkan kerusakan gap junction dan terganggunya mekanisme parakrin maupun pertukaran molekul secara langsung antara sel granulosa dan oosit. Hal ini mempengaruhi fungsi sel granulose dalam mengekspresikan AMH. Antimullerian Hormone berperan dalam proses seleksi folikel pre antral menjadi antral. Faktor lain yang sangat berperan dalam proses ini adalah FSH. Kemungkinan faktor pertumbuhan yang bekerja secara endokrin seperti FSH, tidak terganggu dengan pemberian Mab bZP3. Sehingga laju pertumbuhan folikel pre antral menjadi folikel antral tetap terkontrol. Ini memberi penanda bahwa Mab bZP3 tidak menyebabkan fenomena seperti yang terjadi pada kasus Premature Ovarian Failu yang ditandai salah satunya dengan kenaikan jumlah folikel antral. Dugaan lain adalah bahwa kerusakan lain akibat pemberian Mab bZP3 selain penurunan AMH, juga adanya kerusakan connexin, sehingga meskipun faktor penghambat pertumbuhan menurun, namun pertumbuhan menuju fase antral tidak terjadi secara pesat. Hasil uji ANOVA untuk perbandingan ekspresi AMH pada folikel pre antral dan antral antar waktu pengamatan masing-masing p =0.789 dan p =0.316. Perbandingan jumlah folikel antral antar waktu pengamatan menunjukkan p =0,051. Artinya tidak terdapat perbedaan ekspresi AMH (folikel pre antral dan antral) dan jumlah folikel antral antar waktu pengamatan pada pemberian Mab bZP3. Variasi yang kecil dari ekspresi AMH dan jumlah folikel antral antar waktu pengamatan terjadi juga pada kondisi wanita infertil. Ini memberi kesan bahwa kondisi AMH dan jumlah folikel antral antar waktu pada pemberian Mab bZP3 mirip dengan pasien infertil. Dugaan lain adalah bahwa sesuai dengan farmakokinetik, waktu paruh eliminasi IgG cukup lama. Selama rentang waktu 20 hari kemungkinan Mab bZP3 belum dieliminasi secara sempurna di dalam tubuh, karenanya, hingga hari ke-20 masih memberikan pengaruh yang tidak berbeda signifikan dengan hari ke-10 dan ke-5. Simpulan dari penelitian ini adalah ekspresi AMH menurun dengan pemberian Mab bZP3, sedangkan jumlah folikel antral tidak mengalami peningkatan. Hasil tersebut memunculkan kesan bahwa Mab bZP3 mampu menekan kesuburan tanpa meningkatkan resiko terjadinya menopause dini. Selain itu, waktu pengamatan tidak berpengaruh terhadap ekspresi AMH dan jumlah folikel antral pada pemberian Mab bZP3. Hal ini diduga karena spesifisitas yang tinggi dari Mab bZP3 sehingga hanya menyebabkan kerusakan secara lokal pada zona pelusida. Perubahan pengaruh pemberian Mab bZP3 terhadap penurunan AMH dan jumlah folikel antral kemungkinan baru terjadi setelah hari ke-20 sesuai farmakokinetik IgG. Antibodi monoklonal Mab bZP3 berpotensi untuk dikembangkan menjadi sediaan imunokontrasepsi yang aman.