Adsorpsi Ion Fe2+ Menggunakan Adsorben Abu Layang Batubara
Main Author: | Irawan, Candra |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/157523/ |
Daftar Isi:
- Abu layang batubara yang dihasilkan dari pembakaran batubara PLTU berupa partikel abu yang terbawa oleh gas buang sedangkan abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari bawah tungku disebut abu dasar ( bottom ash ). PLTU Lati Berau merupakan satu-satunya PLTU yang ada di Kalimantan Timur dan sebagai pensuplai tenaga listrik di Kabupaten Berau yang berdiri sejak tahun 2005 mampu memproduksi hanya 2 x 7 MW atau 70.000 ton / tahun dengan menghasilkan 1400 ton abu layang setiap tahunnya. Abu layang batubara yang dihasilkan sejak tahun berdiri 2005 sampai sekarang masih belum diolah sehingga menjadi permasalahan dalam pembuangannya. Oleh karena itu perlu usaha-usaha memanfaatkan limbah padat tersebut. Kualitas air tanah atau air sumur bor di Balikpapan masih di bawah standar air bersih dan tidak layak konsumsi, karena kandungan Fe sangat tinggi, air berwarna kekuningan dan bau logam besi. Hal ini dapat di amati secara kasat mata dimana terbentuknya plak kuning pada bak mandi, serta adanya endapan pada dasar bak mandi merupakan indikasi bahwa air mengandung endapan garam Fe(III). Oleh karena itu perlu adanya adsorben yang digunakan untuk mengadsorpsi logam Fe terutama ion Fe 2+ salah satunya dengan menggunakan adsorben abu layang. Keuntungan adsorben berbahan baku abu layang adalah dapat digunakan baik untuk penyisihan logam berat dalam pengolahan limbah cair maupun limbah zat warna karena biayanya murah. Tahap penelitian yang dilakukan antara lain preparasi abu layang , aktivasi abu layang dengan H 2 SO 4 , karakterisasi abu layang dengan XRF, FTIR dan SEM, penentuan kondisi optimum adsorpsi ion logam Fe oleh adsorben abu layang ( fly ash) batubara yang meliputi variasi massa adsorben, lama kontak, pH, dan konsentrasi adsorbat, aplikasi pada sampel asli (air tanah) pada kondisi optimum, dan evaluasi adsorpsi berdasarkan konsep adsorpsi Langmuir dan Freundlich. Proses aktivasi secara kimia menggunakan H2SO4 dimaksudkan untuk menghilangkan zat pengotor yang ada pada abu layang dengan ion H + . Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya jumlah ion H + yang masuk ke struktur abu layang maka semakin besar pula jumlah zat pengotor dalam abu layang yang tergantikan dengan ion H + (H-Abu layang) sehingga abu layang mempunyai gugus aktif yang mudah melepaskan proton yaitu gugus asam Bronsted. Hasil karakterisasi dengan XRF abu layang sebelum aktivasi dan setelah aktivasi dengan H 2 SO 4 4M, 6M dan 8M kandungan Fe dalam abu layang sebelum diaktivasi masih tinggi yakni 42,4 % sedangkan kandungan Si hanya 16,5 %. Setelah aktivasi H 2 SO 4 4M dan 6M unsur Si mulai meningkat yakni 47,8 % dan menurun lagi 34,4 % tetapi unsur Fe masih lebih tinggi 33,8% dan 38,5%. Setelah aktivasi H 2 SO 4 8M unsur Si meningkat 45,75 % sedangkan unsur Fe turun 10,3%. Hal ini dikarenakan adanya pergantian ion Fe 2+ dengan ion H+ akibat aktivasi H 2 SO 4 pada abu layang. Hasil karakterisasi dengan FTIR dari abu layang menunujukkan spectra abu layang sebelum diaktivasi menunjukkan pita serapan pada bilangan gelombang 3413,71 cm -1 merupakan vibrasi ulur gugus -OH, bilangan gelombang 1635,52 cm -1 merupakan vibrasi tekuk gugus –OH dari molekul H2O yang terserap, bilangan gelombang 1012,56 cm -1 yang lebar dengan intensitas tajam menunjukkan vibrasi rentangan asimetris Si-O-Si yang menunjukkan adanya gugus Si-O atau Al-O pada struktur TO 4 yang berkaitan dengan gugus Si-OH. Serapan pada 775,33 cm -1 menunjukkan vibrasi rentangan simetris Si-O-Si yang diikuti mode bending Si-O pada bilangan 472,5cm -1 , menunjukkan adanya struktur pori dalam abu layang. Hasil pengukuran untuk mengkarakterisasi morfologi permukaan adsorben abu layang sebelum dan sesudah aktivasi H 2 SO 4 8M menggunakan instrument SEM pada abu layang sebelum aktivasi sebagian pori abu layang masih tertutupi oleh zat pengotor sehingga jumlah porinya lebih sedikit dibandingkan jumlah pori setelah diaktivasi serta menunjukkan diameter pori abu layang sebelum aktivasi (566 nm – 761 nm) dibandingkan dengan diameter pori setelah diaktivasi dengan H 2 SO 4 (1,43 – 9,06 μm). Hasil penentuan pengaruh massa adsorben terhadap adsorpsi ion Fe 2+ dilakukan pada konsentrasi adsorbat sebesar 20 ppm dengan waktu kontak 30 menit, dan kecepatan pengocokan 100 rpm. Variasi massa adsorben yang digunakan adalah 1,0; 1,5; 2,0; 2,5;3,0;3,5 dan 4,0 g. Hasilnya bahwa massa Fe teradsorpsi meningkat hingga penggunaan adsorben 2,5 g. Sedangkan pada massa 2,5 – 4 g massa Fe teradsorpsi terjadi penurunan. Penentuan pengaruh lama kontak dilakukan dengan metode batch pada variasi waktu kontak 15, 30, 45, 60, 75, 90 dan 105 menit. Penelitian dilakukan pada konsentrasi adsorbat sebesar 20 ppm dengan massa adsorben 2,5 g dan kecepatan pengocokan 100 rpm. waktu kontak 15 sampai 60 menit terjadi peningkatan persen adsorpsi yang cukup besar. Penurunan persentase ion Fe 2+ teradsorpsi terjadi pada dari menit 60 ke 105. Penentuan pengaruh pH larutan sintesis Fe dilakukan menggunakan adsorben abu layang dengan massa optimum 2,5