Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban Perkosaan (Studi di Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Negeri Kepanjen)
Main Author: | Erliati, NoviFebrianiNoor |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/157165/ |
Daftar Isi:
- Penulisan ini membahas tentang perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan di Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Negeri Kepanjen. Hal ini dilatarbelakangi fenomena yang terjadi maraknya kasus kekerasan seksual (perkosaan) terhadap anak, yang mana dalam hal ini ditemukan banyak kasus di wilayah Malang dan Kepanjen. Anak sebagai korban perkosaan, sebagai pihak yang lemah dan dirugikan dalam terjadinya tindak pidana seharusnya mendapat perhatian dan perlindungan hukum. Hal ini karena negara berkewajiban memelihara keselamatan dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Perlindungan anak sebagai korban perkosaan dalam proses penyelesaian perkara pidana sangat penting bagi korban, keluarganya dan penanggulangan kejahatan serta bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Bagi pelaku kejahatan, penjatuhan sanksi ganti rugi kepada korban (restitusi) akan mengembangkan tanggung jawab pelaku dan secara konkrit telah menghilangkan noda akibat perbuatannya, sehingga akan memudahkan pembinaan terhadap pelaku dalam lembaga pemasyarakatan. Kemudian bagi anak sebagai korban yang mengalami trauma perlu diberikannya rehabilitasi yang berguna untuk memulihkan kondisi kejiwaannya semula. Permasalahan dalam tesis ini adalah Pertama, bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perkosaan? Kedua, bagaimana Bentuk perlindungan hukum yang ideal bagi anak sebagai korban perkosaan di masa depan? Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris, pendekatan yang digunakan yuridis sosiologi viktimologis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa wawancara dan data sekunder berupa data yang terkait dengan gambaran kasus perkosaan anak di PN Malang dan PN Kepanjen, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak, buku-buku referensi yang terkait dengan permasalahan yang dikaji,serta artikel, jurnal, maupun internet. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara deskriptif analisis. Beberapa kelemahan dalam implementasi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan di PN Malang yaitu anak tidak mendapatkan ganti kerugian atas akibat yang diderita baik fisik maupun mental, anak tidak mendapatkan bantuan medis untuk perawatan secara fisik serta tidak mendapatkan rehabilitasi ketika anak mengalami ketraumaan. Walaupun secara normatif dalam pengaturan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 64 ayat (3) dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) pasal 90 tidak mengatur ganti kerugian, namun persoalan tersebut diatur ke dalam pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Sedangkan di PN Kepanjen dalam hal medis sudah diberikan semaksimal mungkin karena di Kepanjen memiliki lembaga sosial yang dinamakan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Namun anak sebagai korban yang mengalami ketraumaan tidak direhabilitasi. Sementara rehabilitasi telah di atur dalam pasal 64 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 90 UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk perlindungan hukum yang ideal dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban perkosaan, yang mana dilakukan secara preventif dan represif. Secara preventif dilakukan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman seberat-beratnya sesuai dengan motif pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Pasal 81 (1) UU No.23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun dan maksimum 15 tahun. Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian, Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/terdakwa. Kemudian dibentuknya lembaga yang berskala nasional pada masing-masing daerah untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti perkosaan. Sedangkan secara Represif diperlukan perlindungan hukum berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU Perlindungan Anak, dan Pasal 90 UU SPPA. Pelayanan/bantuan medis, diberikan kepada korban yang menderita fisik, sebagaimana diatur dalam pasal 90 UU SPPA. Pemberian informasi, kemudian diperlukan perlindungan keluarga dan masyarakat untuk memberi dorongan dan motivasi pada korban dan tidak memberi penilaian buruk kepada korban.