Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta yang Berkaitan dengan Pertanahan

Main Author: Andreassari, LetiziaDessy
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2012
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/156637/
Daftar Isi:
  • Notaris dalam melaksanakan kewenangannya masih dilingkupi dengan masalah-masalah tumpang tindih/pertentangan peraturan perundang-undangan sehingga kewenangannya untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan seringkali mendapat hambatan baik secara administrasi maupun kendala hukum. Hambatan-hambatan tersebut berakibat terhadap produk seorang Notaris yang berupa akta. Padahal keotentikan sebuah akta yang dibuat oleh seorang Notaris sangat dipengaruhi oleh dilaksanakannya aturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau disingkat PPAT di dalam praktiknya masih mengalami tarik menarik dalam pembuatan akta akta jual beli tanah. Akta jual beli tanah yang dibuat Notaris berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UUJN ditolak oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan alasan bahwa akta tersebut adalah kewenangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah. BPN bersikukuh bahwa kewenangan membuat akta jual beli tanah merupakan kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bahwa : Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perintah pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) tersebut kemudian dilaksanakan Pemerintah dengan membentuk PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Di dalam Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum hak lainnya hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian istilah (numenklatur) PPAT dengan berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 mempunyai dasar hukum. Lebih jauh lagi, Pasal 2 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menentukan bahwa PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data Pendaftaran Tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Disisi lain, apabila didasarkan pada ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (PJN) menurut Pasal 1 Staatblad 1860 Nomor 3 maka pejabat yang ditunjuk utuk membuat akta-akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah adalah Notaris. Hal ini dikarenakan PJN memberikan kewenangan pada notaris untuk membuat akta apa saja mengenai perjanjian, perbuatan dan ketetapan yang diharusnya oleh Undang-Undang atau dikehendaki oleh para pihak untuk dinyatakan dalam akta otentik, sepanjang oleh Undang-Undang tidak ditunjuk pejabat lain. Berdasarkan kewenangan tersebut Notaris dapat membuat akta apa saja mengenai perjanjian, perbuatan dan ketetapan, termasuk yang berkaitan dengan pertanahan sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat yang lain berdasarkan undang-undang. Sekali lagi, bukan pejabat yang dikecualikan berdasarkan peraturan pemerintah, tetapi oleh undang-undang. Kemudian berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur bahwa notaris berwenang dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan. Kedua hal tersebut menjadikan kewenangan notaris dan kewenangan PPAT dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan menjadi tidak harmonis dan akhirnya mengakibatkan tarik menarik. Dengan demikian untuk meneliti problematika hukum tersebut, penelitian ini difokuskan untuk membahas masalah dasar pertimbangan filosofis, yuridis, dan sosiologis penentuan kewenangan Notaris dan PPAT dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, penyelesaian hukum disharmonisasi pengaturan kewenangan Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan upaya harmonisasi pengaturan kewenangan Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan sejarah hukum (historical approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan sejarah hukum (historical approach) dilakukan dengan cara mempelajari sejarah pelembagaan Notaris serta sejarah pengaturannya. Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga dari waktu ke waktu. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) penting karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus menjadi tema sentral penelitian. Aturan hukum yang fokus mengatur mengenai kewenangan Notaris dan PPAT. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam penelitian ini dibantu dengan pendekatan hukum lainnya guna menjamin akurasi penelitian yaitu pendekatan konseptual (conceptual approach). Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah diuraikan, simpulan yang dapat dirumuskan adalah pertama , dasar pertimbangan kewenangan Notaris dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan adalah untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan dalam kerangka Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian guna menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan Notaris. Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan p